Langsung ke konten utama

LAM Betawi Mendapat Pengakuan Masyarakat Adat se-Nusantara

SUARAKAUMBETAWI | Ternate. Kesejukan dan kecerahan menyelimuti  suasana Kedaton Kesultanan Ternate pagi hari ini Senin (27/10) yang tampak berbeda, penuh dengan khidmat dan keceriaan. KH. Lutfi Hakim, Imam Besar Forum Betawi Rempug (FBR) beserta perwakilan masyarakat adat dan budaya lainnya di Nusantara tampak hadir, mengiringi Wapres ke-13 Repulblik Indonesia, KH. Ma’ruf Amin memasuki area dalam Kedaton Kesultanan Ternate.

Dihadiri oleh Forkominda Provinsi Maluku Utara, Kyai Mahruf Amin mendapatian Gelar Kehormatan dari Kesultanan Ternate. Surat Keputusan Pemberian Gelar dibacakan langsung oleh Sultan Ternate, Sultan Hidayatullah Mudaffar Syah.

Dalam sambutannya, Sultan Ternate memdesak RUU Masayarakat Adat yang diajukan sejak 12 tahun yang lalu segera disahkan.

“hormatilah masyarakat adat, hargai keberadaan mereka sebagai bagian dari kekuatan bangsa.” Jelasnya.

Kyai Lutfi Hakim menjelaskan kehadirannya dalam acara tersebut mewakili Lembaga Adat Masyarakat (LAM) Betawi.

“Suatu kebanggan dan kebahagiaan bagi saya, diminta untuk mewakili LAM Betawi dalam pertemuan ini. Oleh karena itu, saya mengapresiasi pengakuan yang diberikan oleh masyarakat adat dan budaya se-nusantara ini.” Pungkasnya.

Komentar

  1. saatnya siapa yg diakui dan yg pura2 diakui sebagai perwakilan LAM Betawi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Ketum FBR Serukan Geruduk Trans7 dan Tuntut Permohonan Maaf

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA – Media sosial kembali diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, yang mendadak viral pada Selasa pagi, 14 Oktober 2025. Tagar tersebut muncul menyusul tayangan program Xpose Uncensored milik Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan di salah satu pondok pesantren ternama, Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video dari acara itu dinilai provokatif dan menuai kecaman dari warganet, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tayangan tersebut dianggap bersifat stereotip, agitatif, dan berpotensi merusak citra ulama tradisional. Ketua Umum FBR sekaligus Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, KH Lutfi Hakim, menyesalkan tayangan tersebut.  "Tidak hanya membahayakan citra seorang ulama tradisional, tetapi juga melecehkan kehidupan pesantren di Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang menekankan tazim dan adab terhadap ulama harus dihormati," ujar Lutfi Hakim dalam keterangan resminya, Selasa 14 Oktober 2025. Menurutnya, media massa memiliki tanggung j...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...