Langsung ke konten utama

Meneguhkan Peran MUI Jakarta Sebagai Penjaga Moral Umat Lewat Rapat Paripurna

SUARAKAUMBETAWI | Selasa, 9 Desember 2025 – MUI Jakarta Rapat Paripurna Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta dibuka pada Selasa pagi, tanggal 9-10 Desember 2025 di Putri Duyung Cottage, Ancol Jakarta Utara. Dengan Tema Meneguhkan Peran MUI DKI Jakarta Sebagai Pelayan Umat dan Mitra Pemerintah yang Modern, Akuntabel dan Progresif. 

Dihadiri Ketua Dewan Pertimbangan MUI Provinsi DKI Jakarta, KH. Maulana Kamal Yusuf, KH. Mahfudz Asirun, Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI DKI Jakarta, KH. Muhammad Faiz dan KH. Auzai Mahfuzd beserta para Ketua dan Sekretaris Bidang, Ketua MUI Terpilih Tingkat Kota dan Kabupaten, Ketua Ormas Islam tingkat provinsi DKI Jakarta dan  Perwakilan Pemerintah dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi DKI Jakarta.

Ketua Umum MUI DKI Jakarta, KH. Muhammad Faiz dalam sambutannya mengatakan Jakarta terus berubah dengan cepat. Kota ini tumbuh menjadi pusat global, berbagai budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan arus besar pemikiran dunia datang tanpa mengetuk pintu. Penduduk Jakarta sering kehilangan jeda waktu untuk mendengar detak jiwa dan suara nurani.

“Dibalik gemerlap Jakarta dan arus globalisasi, kemajuan yang membawa begitu banyak perubahan, ada kegelisahan yang harus kita sadari yaitu menjaga peran MUI sebagai penjaga kebeningan hati dan akal masyarakat,” ucapnya.

Dalam kacamata tasawuf, kota Jakarta yang semakin maju dan modern bukanlah ancaman. Ia adalah bagian ujian, tempat manusia belajar menjaga hati, akal dan budi agar tidak larut. MUI hadir sebagai penuntun, bukan dengan suara yang keras, tetapi dengan hikmah yang menyejukkan seperti seorang mursyid yang membimbing murid-muridnya kembali ke jalan yang lurus.

“Disinilah pentingnya kita kembali merenungkan peran MUI sebuah lembaga yang tidak hanya memberi fatwa tapi menjadi penjaga arah moral umat. MUI bukan sekedar institusi. ia harus menjadi bagian dari instrumen forum cahaya yang menuntun masyarakat ditengah gelombang perubahan zaman.
Peran MUI hari ini tidak boleh sebatas menuntun hukum dan fatwa, MUI adalah lentera moral, penerang, agar umat tidak tersesat di simpang-simpang modernitas.” Ujarnya.

Ia menambahkan, bahwa yang paling berbahaya bukan gelombang globalisasi melainkan ketika manusia kehilangan arah dan membiarkan hati serta pikirannya lepas dari ikatan agama.

“Peran MUI hari ini, bukan sekedar menjawab pertanyaan halal dan haram. Tetapi menjaga keseimbangan antara syariat yang tegas dan kasih sayang kemanusiaan, antara kemajuan dan akhlak, antara inovasi dan adab, antara tradisi yang diwariskan pada ulama dan dinamika zaman yang terus berkembang. 

Ketika MUI menguatkan pendidikan keagamaan, memandu ekonomi syariah, mengawal moderasi beragama, dan menghidupkan tradisi keilmuan.

Sesungguhnya MUI sedang menanam akar bagi masa depan Jakarta, Masa depan yang seimbang antara kemajuan dan keberkahan,” terangnya.

Peran MUI kembali pada jati dirinya, Ada begitu hal yang kita belajar, diantaranya reposisi dan reorientasi. “MUI diharapkan menjadi rumah besar, dimana semua ormas nyaman, maka MUI seharusnya dialah konseptor, penjaga norma. Teknisnya diserahkan kepada ormas yang menjadi bagian MUI,” pungkasnya.

Dalam kesempatan itu, dilakukan penandatanganan MoU MUI DKI Jakarta dengan Klinik Asshomadiyah Medicare Centre oleh Ketua Umum DKI Jakarta, KH. Muhammad Faiz dengan Dr. dr. Wan Nedra, S.PA dari Klinik Asshomadiyah Medicare Centre.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Ketum FBR Serukan Geruduk Trans7 dan Tuntut Permohonan Maaf

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA – Media sosial kembali diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, yang mendadak viral pada Selasa pagi, 14 Oktober 2025. Tagar tersebut muncul menyusul tayangan program Xpose Uncensored milik Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan di salah satu pondok pesantren ternama, Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video dari acara itu dinilai provokatif dan menuai kecaman dari warganet, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tayangan tersebut dianggap bersifat stereotip, agitatif, dan berpotensi merusak citra ulama tradisional. Ketua Umum FBR sekaligus Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, KH Lutfi Hakim, menyesalkan tayangan tersebut.  "Tidak hanya membahayakan citra seorang ulama tradisional, tetapi juga melecehkan kehidupan pesantren di Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang menekankan tazim dan adab terhadap ulama harus dihormati," ujar Lutfi Hakim dalam keterangan resminya, Selasa 14 Oktober 2025. Menurutnya, media massa memiliki tanggung j...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...