SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Suasana Idul Adha pagi itu di Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan, terasa lebih hidup dari biasanya. Di antara deret rumah sederhana RW 01 dan RW 02, bendera Forum Betawi Rempug (FBR) berkibar di pelataran gardu. Sejumlah anggota, berbaju seragam hitam khas ormas Betawi ini, tampak sibuk memotong hewan kurban: satu ekor sapi dan 19 ekor kambing.
Bukan hanya prosesi pemotongan yang tertib dan khidmat, pemandangan yang paling menggetarkan justru hadir sesaat setelah itu. Para relawan FBR mengemas daging kurban dalam kantong-kantong plastik dan mengantarkannya langsung ke rumah-rumah warga yang membutuhkan. Di tiap pintu yang diketuk, di tiap senyum yang terukir, tersirat satu pesan sederhana: solidaritas dan kerempugan itu nyata.
Momentum itu berlangsung di tengah terpaan isu dan pemberitaan miring yang belakangan membayangi FBR. Namun, bagi para anggotanya, kerja sosial seperti ini justru menjadi penegas bahwa keberadaan mereka bukan sekadar citra di layar kaca atau halaman berita.
"Kami jalan terus. Justru saat seperti ini, kami ingin makin dekat dengan warga," ujar seorang Ketua Gardu FBR di Rawajati.
Kegiatan serupa serentak digelar di berbagai gardu FBR se-Jabodetabek. Di tiap sudut, anggota FBR hadir membagikan daging kurban, bukan sekadar melaksanakan syariat agama, tetapi juga memaknai ulang nilai keadilan sosial di kota yang kian timpang.
Menghidupkan Hadis, Menegakkan Amar Ma’ruf
Bagi FBR, aktivitas ini bukan semata agenda tahunan. Ia berpijak pada prinsip luhur yang dirawat sejak lama: Khoirunnas anfa’uhum linnas—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Prinsip ini menjadi nafas dalam berbagai program sosial FBR. Selain kurban, mereka rutin menyalurkan santunan anak yatim tiap 1 Muharram, membagikan zakat saat Idul Fitri, serta memberikan santunan bulanan bagi anak yatim piatu.
Tak berhenti di sana, FBR juga menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Di tengah komunitas urban yang kian rapuh moralitasnya, mereka berupaya menjadi penjaga nilai-nilai luhur: mengajak kepada kebaikan, menahan arus kemungkaran. Di banyak gardu, program pembinaan karakter bagi anggota terus berjalan, beriringan dengan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Di balik semua itu, sesungguhnya FBR tengah memainkan peran yang lebih besar dan jarang terpotret media, adalah ajaran menjadi Abdal Mustadafien—bapak bagi kaum yang tertindas.
Di Jakarta, kota yang kerap lebih memihak pada kepentingan modal ketimbang marjinal, warga kelas bawah kerap menghadapi berbagai bentuk penindasan: penggusuran paksa, ketidakadilan hukum, eksploitasi ekonomi. Dalam situasi seperti itu, kehadiran FBR menjadi semacam tameng komunitas.
Tak sedikit kasus di mana anggota FBR mendampingi warga menghadapi proses hukum yang berat sebelah. Di banyak kawasan, gardu FBR menjadi simpul solidaritas ekonomi: membantu warga membuka usaha kecil, menggalang dukungan bagi yang terancam kehilangan tempat tinggal.
"FBR bukan hanya jagoan kampung. Di sini kami belajar saling menguatkan, dimana kamj menyebutnya Kerempugan," kata seorang anggota senior FBR.
Dengan jejaring kuat di akar rumput, FBR berupaya memastikan bahwa hukum dan keadilan tidak hanya menjadi milik mereka yang berpunya. Dalam konteks ini, peran mereka melampaui fungsi ormas konvensional—menjadi struktur perlindungan sosial informal bagi yang kerap diabaikan sistem.
Melenyapkan Ego, Merawat Solidaritas.
Esensi Kurban dari Perspektif FBR tahun ini, adalah Melenyapkan Ego, Merawat Solidaritas. Adalah sub judul yang tepat untuk melengkapi artikel ini. Karena dalam hiruk pikuk kurban, tersirat pelajaran mendalam. Bagi FBR, penyembelihan hewan bukan hanya soal ritual keagamaan, melainkan simbol penaklukan ego dan keserakahan.
"Kurban itu soal keikhlasan. Di sini kami belajar untuk terus berbagi, menghapus rasa ingin menang sendiri," ujar seorang relawan FBR di lokasi pemotongan.
Dengan membagikan daging kepada yang membutuhkan, FBR berupaya memastikan bahwa kebahagiaan Idul Adha tak hanya dirayakan oleh mereka yang berkecukupan. Di tiap potong daging yang dibagi, mengalir pesan solidaritas dan kesetaraan sebagaimana sila kelima dalam Pancasila.
Di tengah badai kritik dan stigma, FBR memilih melangkah dengan kepala tegak. Lewat kerja sosial yang konsisten, mereka ingin menunjukkan bahwa ormas pun bisa menjadi kekuatan kebaikan.
Seperti kata pepatah Betawi yang kerap mereka pegang: Jangan kagetan, jangan gumunan, tetap jaga amanah. Di tengah terpaan isu, FBR terus menjaga amanah itu—menjadi saudara bagi yang lemah, pelindung bagi yang rapuh.
Dan di hari raya yang penuh berkah ini, mereka kembali membuktikan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kekuasaan, melainkan pada keberanian untuk terus memberi. ***
membangun sebuah eksistensi nyata dan berpihak ke rakyat sebuah perjalanan panjang dan membutuhkan kesabaran. Sesuai yg pahit belum tentu tidak bermanfaat pada akhirnya. Namun akan di cari pada saatnya karena memiliki khasiat manfaat yg besar. Ormas FBR telah melalui proses panjang dalam membangun pondasi Rumah Kerempugannya.
BalasHapus