SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan.
Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan.
Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika citranya tercoreng oleh konflik horizontal, keterlibatan dalam penertiban, dan gesekan dengan rakyat miskin kota. Saat itu, banyak yang menilai bahwa FBR justru memperkeruh suasana kota, bukan menjadi bagian dari solusi.
Namun waktu membuktikan: FBR bukan ormas dadakan, bukan pula yang hanya bergerak karena proyek atau emosi sesaat. Di tengah dinamika wilayah, urusan ekonomi rakyat kecil, dan tantangan pengembangan SDM internal, FBR terus membenahi diri. Kritik dijawab dengan kerja nyata—dari bidang sosial, budaya, hingga advokasi kebijakan.
"Lihat nanti, FBR bakal jadi apa ke depan. Orang bakal tahu apa itu FBR," ujar KH. Ahmad Fadloli el Muhir, pendiri FBR, dalam pidato Milad FBR di kawasan Kota Tua, beberapa belas tahun lalu.
Sebuah ucapan penuh keyakinan, yang kini perlahan terbukti. FBR telah menjadi ruang hidup bagi berbagai kepentingan masyarakat Betawi. Bukan sekadar soal perut, tapi perjuangan untuk menjadikan Betawi sebagai subjek—bukan objek—di tanah kelahirannya sendiri.
FBR tidak hadir sebagai tiruan aparat. Ia lahir dari nilai-nilai keagamaan dan kepemimpinan ulama, yang membuatnya tetap kokoh ketika banyak ormas kedaerahan lain runtuh karena konflik internal atau tarik-menarik kekuasaan.
Di bawah kepemimpinan KH. Lutfi Hakim, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah dan aktifis HMI, FBR tampil lebih “soff”—lebih halus, lebih strategis, lebih terukur dan sistematis. Pendekatan fisik digantikan pendekatan intelektual. Otot tidak dibuang, tapi ditaruh di belakang otak. Karena tantangan masyarakat Betawi kini tidak lagi hanya ekonomi, tapi juga akses pendidikan, teknologi, dan peran dalam politik kebangsaan.
KH. Lutfi Hakim bukan hanya memimpin secara struktural. Ia adalah penyambung aspirasi budaya Betawi ke ruang-ruang kebijakan. Ia salah satu tokoh paling getol mendorong lahirnya regulasi pelestarian budaya Betawi dan penguatan lembaga adat. Di tangannya, FBR kian diakui sebagai bagian dari pembangunan kebudayaan nasional.
Beberapa tahun terakhir, FBR aktif menjaga kohesi sosial—terutama saat Jakarta terbelah akibat polarisasi politik. Saat politik identitas menguat, FBR memilih menjadi penyejuk, bukan pemantik. Sikap ini mungkin tak populer, tapi menunjukkan kedewasaan organisasi dalam membaca arah bangsa dan komitmennya pada ideologi pancasila.
Di akar rumput, FBR juga tak tinggal diam. Program seperti Jaga Kampung, pengajian, bakti sosial, pengembangan Kampung Budaya Betawi Sukapura, pelestarian pencak silat hingga perjuangan mendorong golok Cakung menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTB) adalah bukti konkret bahwa FBR bukan hanya simbol budaya, tapi penggerak pelestarian identitas lokal.
Salah satu capaian monumental adalah tercantumnya frasa “lembaga adat” dalam Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ). Bersama Kaukus Muda Betawi, FBR memainkan peran kunci. KH. Lutfi Hakim secara konsisten bolak-balik ke DPR, menyuarakan pentingnya pengakuan formal terhadap lembaga adat sebagai elemen penting pembangunan kota berbasis nilai-nilai lokal. Karena selama hampir 5 abad, masyarakat Betawi tidak punya lembaga keadatan yang diakui negara.
Namun tantangan belum usai. Menurut KH. Lutfi Hakim, tantangan ke depan akan lebih berat. Betawi harus melahirkan generasi baru yang tangguh dan siap bersaing secara global. "Ketika kita jadi kota global, maka tantangannya juga global," seperti yang dikatakannya dalam suatu kesempatan.
Karena itu, regenerasi menjadi fokus utama FBR hari ini. Bukan hanya menjaga tradisi, tapi juga mengawal transformasi nilai-nilai kearifan Betawi agar tetap relevan di era digital dan globalisasi. Seperti tema Milad ke-23, “Menjemput Takdir Baru Kaum Betawi”.
Apa yang dulu ditanam oleh KH. Ahmad Fadloli el Muhir kini mulai berbuah. FBR bukan lagi dipandang sebagai ormas musiman. Bukan pula tempat “cegeran” atau gaya-gayaan anak wilayah setempat—yang kerap disebut “Akamsi” (Anak kampung sini). FBR adalah wadah perjuangan—tempat para mujahid kerempugan, yakni mereka yang berjuang dalam senyap, membangun dari bawah, dan menjadi panutan tanpa harus diminta serta terus berperan dalam pemberdayaan masyarakt Betawi tanpa mengandalkan dana hibah sebagaimana ormas lainnya.
Sebagaimana nasihat ulama Betawi KH. Zainuddin MZ, yang kerap menyebut empat sahabat Nabi—Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—yang saling melengkapi dalam dakwah, FBR pun dibangun dari semangat kolektif dan kepemimpinan yang saling menopang dalam balutan ideologi kerempugan. FBR diharapkan bisa menjadi “Umar” bagi masyarakat Betawi—tegas, adil, berani, dan tulus menjaga marwah tanah kelahirannya.
Hari ini, diam-diam banyak yang mulai meniru FBR. Bukan karena kekuatannya, tapi karena daya tahannya. Karena semangat kerempugan yang sudah hidup bahkan sebelum FBR berdiri. Karena kesetiaannya pada akar budaya. FBR telah membuktikan: ormas bisa bertransformasi dan bersikap adaptif. Bahwa Betawi bukan sekadar masa lalu, tapi juga masa depan.
Usia 24 tahun ini, baru permulaan. Tetap semangat memperjuangkan cita-cita bersama menjadi Jawara danJuragan di kampung sendiri yang berwawasan keislaman dan kebangsaan. Selamat Milad, semoga FBR selalu FBR selalu dilindungi Allah untuk terus merawat budaya dan menjaga harmonisasi bangsa guna mewujudkan Jakarta sebagai kota yang penuh rahmat.
Komentar
Posting Komentar