Langsung ke konten utama

Ketua Umum FBR Imbau Warga Jaga Kondusifitas Jakarta di Tengah Aksi Demo

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta – Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), KH Lutfi Hakim, mengimbau masyarakat Betawi, khususnya anggota FBR, untuk menjaga kondusifitas Jakarta menyusul aksi unjuk rasa yang belakangan menyerukan pembubaran DPR.

Menurut KH Lutfi, perbedaan pendapat politik adalah hal yang lumrah dalam kehidupan demokrasi, namun jangan sampai menimbulkan kerusuhan yang merugikan masyarakat luas. Ia menegaskan, Jakarta sebagai Ibu Kota harus tetap aman dan damai.

“Kami minta seluruh masyarakat Betawi, terutama anggota FBR, untuk tidak mudah terprovokasi. Jakarta ini rumah kita bersama, jangan dirusak hanya karena perbedaan pandangan. Tugas kita menjaga keamanan, bukan menambah keributan,” ujar KH Lutfi Hakim dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (29/8/2025).

Selain itu, FBR juga menekankan pentingnya menjaga fasilitas umum agar tidak menjadi korban aksi unjuk rasa. Kerusakan fasilitas, kata KH Lutfi, justru akan membebani masyarakat sendiri.

“Aspirasi silahkan disampaikan, tapi jangan sampai merusak. FBR menolak tindakan anarkis. Kita jaga nama baik Betawi dengan akhlak dan persaudaraan,” tambahnya.

KH Lutfi menegaskan, FBR siap berkoordinasi dengan aparat keamanan bila diperlukan untuk memastikan Jakarta tetap kondusif. Ia berharap semua pihak menahan diri dan mengutamakan musyawarah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Ketum FBR Serukan Geruduk Trans7 dan Tuntut Permohonan Maaf

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA – Media sosial kembali diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, yang mendadak viral pada Selasa pagi, 14 Oktober 2025. Tagar tersebut muncul menyusul tayangan program Xpose Uncensored milik Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan di salah satu pondok pesantren ternama, Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video dari acara itu dinilai provokatif dan menuai kecaman dari warganet, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tayangan tersebut dianggap bersifat stereotip, agitatif, dan berpotensi merusak citra ulama tradisional. Ketua Umum FBR sekaligus Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, KH Lutfi Hakim, menyesalkan tayangan tersebut.  "Tidak hanya membahayakan citra seorang ulama tradisional, tetapi juga melecehkan kehidupan pesantren di Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang menekankan tazim dan adab terhadap ulama harus dihormati," ujar Lutfi Hakim dalam keterangan resminya, Selasa 14 Oktober 2025. Menurutnya, media massa memiliki tanggung j...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...