Langsung ke konten utama

Lembaga Adat, Kunci Representasi Kultural Kota Global

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Peneliti Pusat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Lili Romli mengatakan, Kaukus Muda Betawi memiliki peran penting dalam bonus demografi. Apalagi mereka diisi oleh mayoritas kaum muda yang terdidik dan terpelajar.

"Kaukus Muda Betawi harus mainkan peran penting. Jangan sampai Kaukus Muda Betawi tidak memainkan peran di era bonus demografi ini," kata Prof. Lili, saat menjadi narasumber dalam Sarasehan III Kaukus Muda Betawi dengan tema “Menyongsong 498 Tahun Kota Jakarta dan Lembaga Adat Masyarakat Betawi”, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Senin (2/6/2025).

Lebih jauh ia menjelaskan, secara sosiologis Kaukus Muda Betawi harus membawa perubahan. Apalagi, sejak Kongres Pemuda 1928 lalu, terbukti pemuda Betawi memiliki peran yang signifikan.

"Kaukus Muda Betawi harus menjadi agen perubahan bagi masyarakat Betawi. Secara historis, kita bisa melihat peran pemuda Betawi seperti Mohammad Rochjani Su'ud pada Kongres Pemuda 1928," terangnya.

"Lalu ada juga peran Mohammad Husni Thamrin yang juga memiliki peran politik besar pada masa kemerdekaan 1945," sambungnya.

Menurut Prof. Lili, Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) telah memberi ruang bagi Kaukus Muda Betawi untuk pemajuan budaya Betawi. Ditambah adanya goodwill (niat baik) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta yang membuka ruang untuk pemajuan budaya Betawi.

"Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2024 DKJ sudah tercantum peraturan daerah (perda) pemajuan budaya Betawi. Ini harus disambut baik Kaukus Muda Betawi," katanya.

"Saat ini regulasi tidak jadi tantangan, sekarang sudah ada payung hukum. Apalagi ada dukungan dari pemerintah," tambahnya.

Prof. Lili menambahkan, arus globalisasi saat ini harus menjadi perhatian masyarakat Betawi. Pasalnya, tidak sedikit bakal memengaruhi tradisi kebudayaan Betawi, katanya.

Untuk itu, ia menegaskan, tradisi budaya Betawi harus menjadi perekat sosial. Sehingga tidak muncul sikap individual dan masa bodoh di masyarakat, khususnya generasi muda Betawi.

"Jangan sampai generasi muda Betawi tidak tertarik dengan budaya Betawi. Mereka harus cinta tradisi budaya Betawi. Dan menjadikan tonggak nilai-nilai tradisi Betawi, seperti nilai kebersamaan kekeluargaan," ujarnya.

"Juga harus mempertahankan nilai religiusitas dan nilai-nilai pluralisme, dengan mengakui perbedaan," imbuhnya. 

Di tempat yang sama, Peneliti Pusat BRIN Halimatusa'diyah mengatakan, budaya Betawi bukan warisan, untuk itu harus dijaga dan perjuangan sebagai identitas Jakarta. Dengan lahirnya UU DKJ, menurutnya, memberi ruang masyarakat Betawi untuk memperkuat identitasnya.

"Dengan UU DKJ kita diberi ruang peran dalam pembangunan. Sebelumnya, peran itu tidak terbaca," ungkapnya.

Halimatusa'diyah menambahkan, sejumlah tantangan bakal dihadapi Jakarta saat menjadi kota modernisasi dan globalisasi. Untuk itu, perlu dibangun komunitas yang berdaya juang di Kota Jakarta. 

"Revitalisasi Jakarta harus dilakukan, dan masyarakat Betawi harus menjadi aktor dalam pembangunan di Jakarta," tuturnya.

Halimatusa'diyah mengungkapkan, sejumlah masalah dihadapi masyarakat Betawi baik dari tekanan kultural, bahasa Betawi yang mulai jarang digunakan hingga ruang ekspresi kesenian yang sempit. Akibatnya, kesenian tradisional lenong jarang tampil di ruang publik di Jakarta.

"Selama ini ada dislokasi masyarakat Betawi, identitas Betawi diakui secara simbolik, tapi komunitas terpinggirkan," ucapnya.

Masalah lainnya, lanjutnya, masih ditemukan lemahnya ekonomi budaya. Hal ini, karena ekonomi budaya belum menjadi pilihan penghidupan masyarakat Betawi. 

"Ini sebabnya apa? Apa kurang diminati atau kurang dukungan?" jelas Halimatusa'diyah.

"Budaya Betawi juga hanya jadi ornamen tanpa perlindungan komunitas berikutnya. Ada ondel-ondel, ada gigi balang. Tapi apakah orang-orang Betawi ada di struktur itu," sambungnya.

Halimatusa'diyah menilai perlu dilakukan kolaborasi antar akademisi, budayawan hingga komunitas. Hal ini dilakukan untuk ketahanan budaya, sebab pengakuan simbolik tidak menjamin ada komunitas Betawi di Jakarta. 

"Butuh sistem sosial budaya itu hidup dan bertransformasi," ucapnya.

Untuk menguatkan kelangsungan budaya Betawi, kata Halimatusa'diyah, lembaga adat memiliki peran kunci. Sebab, lembaga adat menjadi representasi kultural budaya Betawi, mediator antar generasi, fasilitas ekonomi budaya dan pusat dokumentasi dan produksi budaya.

"Lembaga adat juga memiliki peran kunci menjadi katalisator pendidikan budaya. Jadi perlu diusulkan masuk kurikulum lokal Jakarta," ujarnya.

"Kalau Ekonomi budaya diminati UMKM budaya, maka mereka bisa berkibar di Jakarta. Peran strategis ini bisa dilakukan lembaga adat dengan berkolaborasi dengan tokoh, pemerintah, akademisi, komunitas antar etnik," imbuhnya.

Hal yang sama diungkapkan Akademisi Muda Betawi, Rasminto. Ia mengatakan, masyarakat Betawi menghadapi himpitan di era globalisasi dan urbanisasi saat ini. 

"Secara statistik masyarakat Jakarta 11,74 juta jiwa, 62,52 persen warga pendatang," bebernya.

Terkait aktualisasi budaya Betawi, kata Rasminto, 70,04 persen anak muda tidak mampu menyebut tiga unsur Betawi. Ini disebabkan karena gentrifikasi wilayah Betawi. Yakni wilayah asli permukiman Betawi beralih fungsi perumahan vertikal dan komersial seperti Condet, Rawa Belong, dan Kemayoran.

"Untuk upaya pelestarian dan penguatan, pendidikan seni dan budaya bisa diberikan sejak dini, digitalisasi dan promosi budaya lewat medsos, mendukung seniman dan pelaku budaya, keterlibatan komunitas dan pemerintah dalam pelestarian melalui regulasi dan kebijakan," ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar Antropolog Betawi Universiats Indonesia (UI), Prof. Yasmine Zaki Shahab menambahkan, ada dua platform dalam lembaga adat Betawi, yakni majelis taklim dan tokoh adat (ulama, red). Sebab, menurutnya, berbicara adat Betawi tentu berbicara tentang Islam.

"Kalau bicara studi etnik, Betawi paling unik. Karena Betawi tidak punya Lembaga Adat seperti Batak dan Minangkabau sampai 2012 lalu," katanya.

Sebelumnya, Gubernur Jakarta Pramono Anung menegaskan, penyelesaian Perda tentang Masyarakat Adat Betawi bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan bentuk nyata komitmen terhadap amanat UU Nomor 2 Tahun 2024.

Menurutnya, momentum penyelesaian Perda ini sangat krusial dalam menjaga marwah dan eksistensi kebudayaan Betawi di tengah arus modernisasi Kota Jakarta.

“Ini bagian komitmen kita untuk menyelesaikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024. Undang-Undang memerintahkan. Momentumnya kalau tidak sekarang, menurut saya kita akan mengalami kesulitan,” kata Pramono, dalam sambutannya saat pembukaan acara. 

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta, Khoirudin, menegaskan komitmennya untuk mendorong percepatan revisi Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.

Dia menyatakan penguatan payung hukum budaya Betawi merupakan bagian dari tanggung jawab konstitusional DPRD terhadap identitas dan jati diri Jakarta sebagai kota bersejarah.

“Saya sangat berkomitmen. Perda Pemajuan Kebudayaan Betawi saya jadikan prioritas di tahun ini,” katanya pada Senin (2/6/2025).

Khoirudin menilai keberadaan budaya Betawi bukan hanya warisan lokal, tetapi juga bagian dari kekuatan kultural nasional yang harus dijaga keberlanjutannya secara sistematis.

“Pemajuan Kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta harus dilakukan secara optimal. Ini bukan hanya soal identitas, tapi juga soal arah kebijakan pembangunan kota yang berakar pada nilai-nilai lokal,” ujarnya.

Sementara itu, pada sesi II Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno hadir mendengar dan menyimak dalam "Bang Doel Menyimak: Pemajuan Kebudayaan Betawi Menghadapi Tatanan Baru Kota Jakarta dalam Perspektif Tokoh dan Guru Besar Betawi". 

Rano menyatakan pentingnya percepatan penyusunan Perda tentang Lembaga Adat Masyarakat Betawi sebagai langkah konkret dalam mengakui dan memuliakan eksistensi masyarakat adat Betawi di Jakarta.

“Saya akan putuskan bahwa yang ingin kita bentuk ini adalah Lembaga Adat Masyarakat Betawi,” tegasnya, saat menyampaikan tanggapan dalam sesi itu.

Ia mengatakan, sudah waktunya Pemprov Jakarta memberi ruang hukum dan kelembagaan resmi bagi masyarakat adat Betawi agar peran dan kontribusinya terhadap pembangunan kota bisa lebih terstruktur, terlembaga, dan terlindungi.

“Saya berharap sarasehan ini memberikan masukan yang konstruktif, agar saya bisa segera menetapkan arah penyusunan Perda,” pungkasnya, yang diakhiri dengan penutupan sarasehan.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...