Langsung ke konten utama

Sengkarut Haji 2025, Bukan Kesalahan Kerajaan Saudi Arabia

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Saya berusaha menanggapi segala persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Haji 2025 dengan kepala dingin meskipun hati tentunya sedikit menahan kesal, sedih dan kecewa dengan apa yang telah terjadi menimpa calon jamaah haji Indonesia 2025.

Tentu saja ini dialami oleh sekian banyak orang yang sedikit memahami alur perhajian, atau paling tidak yang mengerti konsep apa saja persiapan yang harus dilakukan menjelang musim haji. Dari informasi yang didapat, baik video di media sosial, curhatan jamaah haji, atau bahkan di media online, Haji 2025 seolah menjadi haji yang paling berat ujiannya.

Beberapa soal terjadi berkaitan dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya, semisal bagaimana proses syarikah dalam melaksanakan tugasnya, yaitu pelayanan jamaah haji. Termasuk di dalamnya penempatan atau penyesuaian kloter bagi jamaah Indonesia. Jadi, bukan salah Saudi jika ada jamaah terpisah dengan suami atau isterinya, lansia dengan pendamping, kepala rombongan dengan jamaah dan seterusnya, sebab seperti yang saya katakan di awal, bahwa memang tugas syarikah yang melakukan pelayanan, semakin banyak syarikah, maka semakin sulit penyesuaian dengan kloter jamaah. Tapi ini tentang bagaimana Kementerian Agama melakukan penyesuaian, atau paling tidak mitigasi sejak awal agar carut marut perhajian di tahun 2025 ini bisa diminimalisir.

Bayangan saya, sedikit permasalahan hanya akan terjadi dalam urusan (semisal) jamaah tertinggal, dalam satu kloter yang ditampung dalam satu syarikah, namun ternyata kejadian lebih parah, ini diluar bayangan saya sama sekali, seolah mitigasi ini tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat pelayan haji, semisal bahwa satu kloter ditangani 3 Syarikah, terpencar dalam 15 hotel, ini terjadi pada kloter 12 sub 12 Surabaya, mohon dikoreksi jika ada kesalahan informasi yang kami terima. Belum lagi koper jamaah yang terpisah, migrasi dari hotel ke hotel yang belum disiapkan, kesalahan Bis Transportasi di Mekkah-Madinah, penundaan keberangkatan seperti yang terjadi di Lampung Tengah, NTB, dan lain sebagainya.

Jadi, saya tidak sependapat dengan narasi yang beredar bahwa Saudi Arabia menerapkan kebijakan pelayanan berbasis syarikah. saya katakan, hai, jangan asal bicara, sedari dulu juga mereka melakukan model seperti ini. Bedanya, beberapa tahun sebelumnya kita hanya menggunakan satu syarikah yaitu masyariq dalam pelayanan haji reguler, beda hal dengan haji khusus dilakukan oleh beberapa syarikah. Ini yang menurut saya seharusnya menjadi perhatian, terkhusus Ditjen PHU dengan dibantu oleh BP Haji, proses kajian kemudian upaya mitigasi dengan antisipasi persoalan mestinya dilakukan sedari awal.

Jadi, saya pikir, narasi menyalahkan kerajaan saudi arabia dalam pelayanan haji 2025 adalah tidak tepat. Alih-alih kita mencoba agar dimaklumi oleh khalayak, Kerajaan Saudi akan merasa tersakiti dengan narasi yang jauh dari kebenaran ini.

Dalam ekosistem Haji, permasalahan bukan hanya dialami oleh pemerintah Indonesia dalam pelayanan Haji Reguler maupun Haji Khusus, namun dialami oleh PIHK dengan Haji Furoda atau Mujamalahnya. Kelangkaan Visa yang dialami teman-teman swasta, seolah tidak pernah terjadi pada tahun-tahun sebelum ini. Ini juga bukan murni kesalahan Kerajaan Saudi Arabia, saya hanya bisa menebak, sangat mungkin karena diplomasi yang kurang lancar. Yang jelas, baik pemerintah maupun swasta mengalami ujian berat di tahun ini, semua mengalami sengkarut Haji 2025.

Wallahul Musta'an

Husny Mubarok Amir
Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...