SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyetujui usulan Fraksi Partai Gerindra yang mendorong perluasan definisi tempat umum dalam Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam usulan tersebut, tempat hiburan malam seperti karaoke, kelab malam, dan kafe dengan live music diusulkan masuk ke dalam kawasan yang dilarang merokok.
Kebijakan ini pada dasarnya lahir dari kepedulian terhadap kesehatan masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya, regulasi ini harus dirancang secara proporsional dan kontekstual. Tidak semua tempat umum memiliki karakter sosial yang sama, sehingga pendekatan pengaturan pun tidak bisa disamaratakan.
Hiburan malam bukan ruang terbuka umum seperti taman kota atau halte bus. Tempat ini bersifat tertutup, berbayar, dan hanya dapat diakses oleh orang dewasa. Oleh karena itu, pembatasan kegiatan di dalamnya — termasuk larangan merokok — perlu mempertimbangkan konteks ekonomi, sosial, dan budaya yang menyertainya.
Data dari Kementerian Keuangan dan Laporan LKPP terkait Realisasi APBN 2024 menunjukkan bahwa penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp 226,4 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan dividen BUMN yang hanya sebesar Rp 86,4 triliun. Kontribusi besar ini menunjukkan bahwa industri hasil tembakau, meskipun penuh kontroversi, tetap menjadi pilar penting dalam struktur keuangan negara.
Cukai rokok juga berperan dalam mendanai sektor kesehatan melalui BPJS, membiayai infrastruktur publik, serta menopang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang disalurkan ke daerah. Menutup ruang konsumsi yang legal dan terbatas tanpa pertimbangan menyeluruh justru bisa menjadi kebijakan yang kontraproduktif.
Selain aspek penerimaan negara, ada risiko besar yang perlu diperhitungkan, yaitu migrasi pelaku usaha dan konsumen ke luar Jakarta. Saat ini, kawasan seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan 2 di wilayah Banten sedang gencar melakukan branding regional untuk menjadi magnet baru bagi hiburan malam dan gaya hidup masyarakat urban. Fenomena ini sering disebut dengan istilah seperti “dede gemes PIK” atau “kokoh-kokoh PIK”, yang membedakan gaya anak PIK dengan Jakarta Timur. Jika Jakarta menerapkan aturan yang terlalu ketat dan kaku, bukan tidak mungkin aktivitas ekonomi malam akan bergeser ke PIK.
Migrasi ekonomi ini bukan ancaman tanpa dasar. Hal ini berpotensi mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD), menurunkan serapan tenaga kerja, dan melemahkan posisi Jakarta sebagai kota metropolitan yang dinamis dan terbuka. Lebih dari itu, Jakarta bisa kehilangan daya saingnya dalam sektor pariwisata, budaya, dan gaya hidup.
Kebijakan KTR tetap harus dijalankan secara tegas, tetapi pelaksanaannya perlu membedakan antara ruang publik terbuka dan tempat hiburan malam yang bersifat tertutup. Beberapa pendekatan alternatif yang dapat diterapkan antara lain:
Mewajibkan tempat hiburan menyediakan ruang khusus merokok yang memenuhi standar kesehatan dan ventilasi;
Mendorong edukasi dan sosialisasi kepada pengelola dan pengunjung tentang batasan serta hak-hak non-perokok;
Menyusun regulasi teknis berbasis zonasi dan segmentasi jenis tempat usaha;
Memberikan insentif bagi tempat usaha yang secara bertahap mengurangi area merokok.
Kesehatan masyarakat tentu menjadi prioritas utama. Namun, perlindungan terhadap sektor ekonomi dan dunia usaha juga tidak boleh diabaikan. Kota modern dan maju tidak lahir dari kebijakan yang ekstrem, melainkan dari tata kelola yang adil, kontekstual, dan adaptif.
Jakarta membutuhkan regulasi yang mampu melindungi semua pihak secara seimbang. Bukan yang melarang secara seragam, tetapi yang mengelola perbedaan secara bijak. Dari keseimbangan itulah, kota ini bisa tumbuh sehat, kuat, dan berdaya saing.***
Komentar
Posting Komentar