SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Budaya adalah seluruh cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang, mencakup adat istiadat, bahasa, pakaian, makanan, kesenian, hingga nilai dan norma sosial. Edward B. Tylor, seorang antropolog asal Inggris, dalam bukunya Primitive Culture (1871) mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Inilah warisan tak ternilai dari para leluhur kita, yang diwariskan lintas generasi dan menjadi jati diri bangsa.
Melestarikan budaya berarti menjaga denyut nadi sejarah, menghormati akar tradisi, dan mengukuhkan identitas. Tanpa pelestarian, budaya akan terkikis oleh modernisasi dan globalisasi. Budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga fondasi masa depan. Maka, tugas melestarikan budaya adalah tanggung jawab bersama, lintas generasi dan lintas latar belakang.
*Pelestarian Budaya Bukan Hanya Tugas Warga Asli*
Banyak yang berpikir bahwa pelestarian budaya hanya menjadi tugas warga lokal. Padahal, pendatang pun memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memahami serta menghargai budaya setempat. Contohnya, di Bali, wisatawan dan pendatang lokal diajak untuk menghargai upacara adat seperti Nyepi atau Ngaben yang menjadi bagian dari kehidupan spiritual masyarakat setempat. Pemerintah Bali bahkan menyusun panduan etika bagi wisatawan untuk memahami budaya lokal (Dinas Pariwisata Bali, 2022).
Dengan memahami budaya lokal, pendatang tidak hanya menunjukkan respek, tetapi juga menciptakan harmoni sosial yang memperkuat kohesi masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh Koentjaraningrat, seorang antropolog Indonesia, “Integrasi budaya dalam masyarakat majemuk dapat tercipta jika ada kesediaan untuk saling memahami dan menghargai perbedaan” (Pengantar Ilmu Antropologi, 1987).
*Budaya Betawi: Siapa yang Wajib Melestarikan?*
Budaya Betawi adalah jantung kebudayaan Jakarta, namun sering kali terpinggirkan oleh arus urbanisasi dan modernisasi. Maka, siapa yang bertanggung jawab melestarikannya? Jawabannya: kita semua. Baik warga asli Betawi maupun warga pendatang di Jakarta memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga eksistensi budaya ini.
Sebagai contoh, Kota Yogyakarta sukses melestarikan budayanya melalui berbagai pendekatan. Dari pendidikan formal yang mewajibkan Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, hingga penyelenggaraan festival budaya rutin seperti Sekaten dan Jogja Java Carnival yang terbuka untuk semua kalangan. Bahkan warga pendatang di Yogyakarta dengan bangga menggunakan batik dan bahasa Jawa dalam keseharian mereka. Budaya menjadi perekat sosial, bukan sekadar simbol etnik.
Jakarta pun bisa mencontoh hal ini. Masyarakat dari berbagai etnis yang tinggal di ibu kota seharusnya bangga mengenal, mempraktikkan, dan mempromosikan budaya Betawi, mulai dari kesenian lenong, musik gambang kromong, hingga makanan khas seperti kerak telor dan soto Betawi dan lainnya.
*Budaya Betawi Mendunia di Kota Peradaban Baru*
Dengan ditetapkannya Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai pusat pemerintahan baru, posisi Jakarta akan mengalami redefinisi. Namun, Jakarta sebagai kota tua dan pusat peradaban tetap memiliki kekuatan budaya yang tak tergantikan. Di sinilah budaya Betawi bisa tampil sebagai warisan metropolitan yang mendunia.
Budaya Betawi memiliki potensi luar biasa untuk dikenal secara global. Sejumlah elemen budaya Betawi seperti tanjidor, ondel-ondel, dan tari topeng Betawi bahkan telah ditampilkan dalam forum internasional. Ini menjadi bukti bahwa budaya Betawi tidak hanya milik warga lokal, tetapi juga bisa menjadi ikon budaya dunia jika terus dijaga dan dipromosikan.
Oleh karena itu, setelah IKN berdiri, warga Jakarta justru semakin harus menyadari pentingnya memelihara identitas Betawi sebagai warisan kota global yang berakar kuat namun bersayap lebar menuju dunia.
*Pendidikan Formal, Jalan Utama Pelestarian Budaya Betawi*
Salah satu strategi paling efektif untuk melestarikan budaya adalah melalui jalur pendidikan formal. Budaya Betawi seharusnya diajarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal (mulok) wajib di sekolah-sekolah wilayah DKI Jakarta. Tidak hanya itu, guru pengampu mulok budaya Betawi juga harus memiliki sertifikasi kompetensi dari lembaga resmi seperti Lembaga Kebudayaan Betawi atau lembaga yang ditunjuk pemerintah.
Pengalaman penulis sendiri menjadi contoh nyata. Pernah tinggal di Bekasi, Yogyakarta, dan Surabaya, penulis menyaksikan sendiri bagaimana bahasa daerah—seperti Sunda, Jawa, dan Jawa Timuran—dijadikan mata pelajaran wajib mulok. Anak-anak belajar bukan hanya bahasanya, tapi juga nilai-nilai dan budaya lokal. Jakarta seharusnya tak ketinggalan. Selain bahasa Betawi, materi pelajaran dapat mencakup seni lenong, pantun Betawi, permainan tradisional, serta sejarah tokoh-tokoh Betawi.
Kurikulum yang terstruktur dan guru yang kompeten akan menjadi jembatan kuat antara generasi muda dan akar budayanya. Inilah investasi budaya jangka panjang yang harus dimulai sekarang juga.
*Lestarilah Budaya Betawiku*
Budaya bukanlah hiasan masa lalu. Ia adalah roh yang menghidupkan masyarakat, nilai yang membentuk karakter, dan identitas yang membanggakan. Budaya Betawi, sebagai warisan luhur kota Jakarta, harus terus tumbuh dan berkembang di tengah gempuran zaman. Melalui pendidikan, partisipasi warga, dan keterlibatan pendatang, budaya Betawi akan tetap hidup dan bahkan mendunia.
Mari kita mulai dari hal kecil, mengenakan batik Betawi, belajar pantun khas Betawi, mengenalkan anak-anak pada cerita rakyat Betawi, dan mendukung festival budaya lokal. Karena ketika kita merawat budaya, sesungguhnya kita sedang menjaga jati diri bangsa.
*Lestarilah budaya Betawiku, dari gang kecil Jakarta sampai panggung dunia*
Referensi:
• Tylor, E. B. (1871). Primitive Culture.
• Koentjaraningrat. (1987). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
• Dinas Pariwisata Bali. (2022). Panduan Wisata Budaya Bali.
• Lembaga Kebudayaan Betawi. (2024). Peta Jalan Pelestarian Budaya Betawi.
Komentar
Posting Komentar