Langsung ke konten utama

Mengenal Sholawat Dustur: Tradisi Lisan Budaya Betawi

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Sholawat Dustur mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun sangat akrab bagi masyarakat Betawi. Salah satu tradisi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Betawi adalah tradisi lisan pembacaan Sholawat Dustur. Tradisi ini berasal dari ajaran Islam yang dikembangkan oleh ulama Betawi sebagai pengejawantahan atas perintah Al-Qur'an dalam Surah al-Ahzab Ayat 56 dan kecintaan kepada Nabi Muhammad. 

Sholawat Dustur biasanya disenandungkan sebelum acara taklim berlangsung, yaitu majelis ilmu yang menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi. Acara taklim ini sering diadakan di masjid, mushola, atau bahkan dari rumah ke rumah.

Selain dalam acara taklim, Sholawat Dustur juga dibacakan saat kenduri, terutama dalam tradisi palang pintu. Palang pintu adalah salah satu upacara dalam pernikahan Betawi, di mana mempelai pria diarak dan "dihadang" sebelum prosesi ijab qabul dan dipersandingkan di "puade". Pembacaan Sholawat Dustur dalam acara ini menambah kesakralan dan keindahan prosesi pernikahan.

Tambahan lagi, setiap orang Betawi yang akan melakukan perjalanan jauh, semisal perjalanan belajar, haji atau umroh, dibacakan Sholawat Dustur terlebih dahulu, dengan harapan agar perjalanannya diberkahi dan mendapat keselamatan dari Allah.

Sholawat Dustur sebagai seni lisan Betawi begitu merdu dan syahdu didengar. Konon, syair dan alunan nadanya yang khas ini, yang disebut "nada Syika" dikarang oleh seorang ulama terkemuka Betawi, yaitu Datuk Abdul Mujib bin Sa’abah dari Tenabang. Beliau adalah pengarang Sholawat Dustur dan Rawi Melayu Betawi. Melalui karya-karyanya, pengaruh Islam sangat terasa dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sangat menghormati Nabi Muhammad SAW.

Kecintaan kepada Rasulullah SAW begitu dalam terpatri pada diri dan kehidupan masyarakat Betawi. Lewat ekspresi seni dan tradisi, kecintaan ini terwujud dalam Sholawat Dustur, yang menjadi simbol penghormatan dan cinta kepada Nabi. Tradisi ini bukan hanya sekedar seni lisan, tetapi juga sebuah warisan budaya yang menjujung tinggi nilai-nilai Islam.

Selain itu, Sholawat Dustur juga mengekspresikan pemahaman keagamaan msyarakat Betawi yang bermuara kepada ahlussunnah waljamaah, dengan secara tegas dan jelas menyebut keempat Khalifah setelah Nabi, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali dalam redaksinya.

Pelestarian Sholawat Dustur sebagai seni lisan Betawi adalah upaya menjaga kekayaan budaya dan nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya. Diharapkan masyarakat Betawi dari generasi ke generasi dapat terus mengenal, mempelajari, dan melestarikan tradisi ini, sehingga warisan budaya Betawi tetap hidup dan terus berkembang.

Sebagai catatan penutup, bisa dikatakan bahwa Sholawat Dustur menjadi salah satu elemen yang memperkaya keragaman budaya Betawi, menciptakan harmoni yang indah antara tradisi dan ajaran Islam. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan kepada Nabi, tetapi juga menggambarkan kearifan lokal dan kebersamaan dalam masyarakat Betawi. Lewat Sholawat Dustur, nilai-nilai Islam dan budaya Betawi terus terjaga, mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat dengan keindahan dan kesakralan yang khas.

Teks Sholawat Dustus

‎بِـسْمِ اللّــٰـهِ الرَّحْمٰــنِ الرَّحِيْمِ

‎اَللّٰـهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَزِدْ وَأَنْــعِمْ وَتَـفَضَّلْ وَبَـارِكْ بِـجَلَالِكَ وَكَمـَـالِكَ عَـلـٰى زَيِّـنْ عِبَادِكَ وَأَشْرَفِ عِبَادِكَ وَأَسْعَدِ الْعَرَبِ وَالْـعَـجَمِ وَإمَامِ الطَّـيِّــبَةِ وَالْحَرَمِ. وَالتُّــرْجُـمَانِ بِـلِسَانِ الْـقِدَمِ وَمَـنْـبَعِ الْـعِلْـمِ وَالْحِلْمِ وَالْحِكْـمـَةِ وَالْحِكَمِ. أَبِى اْلـقَاسِمِ سَيِّــدِنَـا وَحَـبِـيْـبِـنَا وَشَـفِـيْـعِـنَا وَمَوْلَانَـا مُحَمَّدٍ. زِدْهُ شَرَفًـا يَـارَبِّ ×3 وَكَــرَمًا وَتَـعْظِـيْمًا وَرِفْـعَـةً وَمَهَابَـةً وَبِـرًّا. وَرَضِيَ اللّـهُ تَـبَارَكَ وَتَـعَالـٰى عَـنْ ذَوِى الْـفَخْـرِ الْعَـلِـىِّ وَالْـقَـدْرِ الْجَـلِـىِّ. سَادَاتِــنَا وَأَئِـمَّــتِــنَا وَمَـوْالِـــيْــنَا أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ وَعُـثْـمَانٍ وَعَـلِـيٍّ وَعَـنْ بَـقِــيَّـةِ الصَّحَابَـةِ وَقَـرَابَـةِ رَسُوْلِ اللّــهِ صَلّى اللّـهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِــيْنَ . وَالْحَمْدُ لِلّــهِ رَبِّ الْعَالَـمِـيْنَ

"Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.

Ya Allah! limpahkanlah shalawat dan keselamatan, tambahkan, berikanlah keselamatan, berikanlah keutamaan dan limpahkanlah keberkahan, dengan segala kemuliaan dan kesempurnaan-Mu yang paling Agung, orang Arab dan orang ‘Ajam yang paling beruntung pemimpin segala kebaikan dan kemuliaan, penerjemah dengan lisan yang paling unggul, sumber ilmu pengetahuan, kesabaran, hikmah dan kearifan, yakni Abul Qasim, pemimpin kami, kekasih kami, pemberi syafaat kami, dan tuan kami Muhammad saw.

Tambahkanlah kepadanya keluhuran wahai Tuhanku 3x. Juga kemuliaan, keagungan, ketinggian derajat, kehebatan dan kebaikan. Semoga Allah Yang Maha Memberkati dan Maha Mulia senantiasa Meridhoi sang Pemilik Keagungan yang Tinggi, kekuasaan yang nyata, para pemimpin imam dan pemuka-pemuka kami, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali. Juga seluruh sahabat dan kerabat Rasulullah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada beliau dan kepada seluruh sahabat dan keluarganya. Segala puji bagi Allah. Tuhan Semesta Alam."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...