SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Jakarta kembali gaduh oleh tawuran pelajar. Kekerasan demi kekerasan seperti tak kunjung usai, dan kita seolah kehabisan kata selain: “kenakalan remaja.” Padahal, ini bukan semata urusan anak-anak yang salah pergaulan. Ini tentang ruang yang hilang dan ketimpangan yang dipelihara.
Baru-baru ini, ribuan pelamar—mayoritas lulusan D3 dan sarjana—berdesakan mendaftar sebagai petugas PPSU. Pekerjaan lapangan dengan upah pas-pasan menjadi rebutan. Pemandangan ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga menyentil nurani: negara gagal menyediakan ruang layak bagi tenaga terdidik. Dalam frustrasi itulah, kekerasan sosial tumbuh perlahan, dalam diam.
Sementara itu, ormas kerap dijadikan kambing hitam. Pemerintah pusat dengan tegas menyebut beberapa ormas sebagai sumber keresahan. Tapi ironi terjadi ketika ormas-ormas yang dikritik justru tetap dilegalkan dan dibina. Negara seolah menepuk air di dulang, lalu terpercik muka sendiri. Wacana tentang SDM unggul dan Indonesia Emas seolah hanya menjadi slogan, meskipun banyak pihak telah memberi dukungan nyata untuk mewujudkannya.
Namun tidak semua ormas bersumber dari kekacauan. Sebagian lahir dari ikatan kedaerahan dan semangat kekeluargaan. Mereka bisa menjadi jembatan sosial yang efektif—asal diberi ruang. Kita masih ingat penertiban lokalisasi Boker di Ciracas awal 2000-an. FBR dan Forkabi turut ambil bagian. Mereka hadir bukan hanya sebagai kekuatan massa, tapi juga penyambung dakwah: menggelar tabligh akbar bersama KH Zainuddin MZ, mengadakan hiburan rakyat, dan memastikan ruang publik kembali ke jalurnya.
Kini di lokasi itu berdiri GOR Ciracas yang megah. Namun mereka yang dahulu berjasa justru terpinggirkan. Tak dilibatkan, tak diberi peluang. Bahkan untuk melamar pun dipersulit. Di sinilah akar kemarahan sosial: bukan karena cemburu, tapi karena diperlakukan seolah tak pernah ada.
Di tengah situasi ini, secercah harapan hadir dari rencana “Manggarai Bersholawat” yang digagas tokoh-tokoh masyarakat. Bukan sekadar zikir bersama, tapi cara halus merawat jiwa yang resah. Sebab sebelum anak-anak tawuran di jalan, mereka terlebih dahulu kehilangan pegangan di rumah dan lingkungan. Ruang-ruang spiritual seperti ini bisa menjadi titik balik—salah satu dari banyak cara untuk mengatasi tawuran pemuda.
Contoh baik juga tumbuh di banyak tempat. Seperti di Jakarta Utara, ormas lokal membina warga, pelaku UMKM, serta ruang edukasi anak lewat pembangunan Kampung Budaya Betawi Sukapura. Ada pula komunitas warga yang menyulap lahan mati menjadi kebun produktif. Semua ini lahir bukan dari program pemerintah, tapi dari ruang kepercayaan yang diberikan. Apalagi jika program pembangunan Balai Rakyat yang digagas Pramono-Doel benar-benar terealisasi, dengan model pembangunan menyeluruh—termasuk pembangunan karakter.
Tentu, bila hari ini ormas merasa disudutkan, itu juga momen untuk bercermin. Ormas bukan TNI, bukan Polri. Tak patut merasa lebih tinggi dari institusi negara. Namun negara juga jangan sembrono: membubarkan ormas tanpa mengatasi ketimpangan hanya akan menggunting daun, bukan mencabut akar.
Seperti roti buaya—tampak sangar dengan gigi dan duri, tapi sejatinya manis dan lembut di dalam—tulisan ini tidak bermaksud menggigit. Hanya ingin mengingatkan: anak-anak yang tampak “nakal” sesungguhnya sedang mencari jalan pulang. Dan kita semua—orang tua, masyarakat, negara—punya kewajiban membuka pintu itu.
Komentar
Posting Komentar