Langsung ke konten utama

Macet Ekstrem di Jakarta Utara Terkait Pelindo, PWNU Jakarta: Sangat Merugikan Masyarakat Jakarta.

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jakarta H Husny Mubarok Amir menyoroti terkait kemacetan ekstrem yang terjadi berulang kali di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Diketahui, kemacetan terakhir terjadi selama empat hari, pada Rabu-Sabtu (16-19/4/2025) yang disebabkan oleh PT Pelabuhan Indonesia Persero (Pelindo). 

Husny menyampaikan bahwa kemacetan panjang yang disebabkan Pelindo berdampak kepada masyarakat. Ia menyebut bahwa banyak masyarakat yang merasa dirugikan. 

"Macet panjang sudah beberapa kali terjadi dan merugikan masyarakat. Banyak warga Jakarta yang terkendala dan dirugikan karena macet tersebut," kata Husny kepada NU Online Jakarta, pada Selasa (22/4/2025).

Husny berharap, kemacetan serupa tidak terulang lagi. Menurutnya, kemacetan yang terjadi di Tanjung Priok dapat diantisipasi dengan mengelola jadwal keluar masuknya truk dan bongkar muat kontainer yang rapih. 

"Kalau itu rapih mestinya tidak terulang kejadian-kejadian serupa seperti itu," harapnya.

Tak hanya itu, Ia juga menegaskan bahwa Pelindo adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kepemilikan sahamnya 100 persen adalah saham pemerintah pusat. 

Dengan demikian, kata Husni, Kementerian BUMN harus bertanggung jawab atas kemacetan yang disebabkan oleh Pelindo. 

"Kementerian BUMN bertanggungjawab penuh dengan kejadian seperti ini, termasuk mengevaluasi direktur utama atau direksi-direksinya dan juga komisaris yang ada di pelindo" tegas Husny.

Husny juga mengatakan bahwa perlu adanya komunikasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta untuk membahas Pelindo terkait kerjasama, misalnya penanaman saham dari Pemprov Jakarta ke Pelindo atau sekalian _join venture_

"Itukan sudah ada contohnya PT Kawasan Berikat Nusantara Persero (KBN). Pemprov DKI Jakarta saat ini memiliki 26,8516 persen saham di KBN, sementara PT Danareksa (Persero) memegang 73,1481 persen, dan Pemerintah Republik Indonesia sebesar 0,0003 persen, atau kalo contohnya adalah BUMD, kita ada PT JIEP yang ada saham pusat disitu," katanya

Menurutnya, karena PT Danareksa adalah BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki pemerintah pusat, seharusnya tidak ada kendala bagi Pemprov Jakarta untuk memiliki saham di Pelindo. 

Lebih lanjut, Ia menyampaikan bahwa jika opsi tersebut tidak dapat direalisasikan akibat struktur BUMN yang tertutup, maka langkah yang dapat diambil adalah membentuk entitas baru yaitu misalnya Port of Jakarta sebagai bentuk dari kerjasama join venture antara pemerintah pusat dan Jakarta.

Pelabuhan ini bisa dikelola langsung oleh Pemda DKI melalui BUMD atau skema kemitraan strategis lainnya.

“Bukan tanpa alasan, sebab kita tahu bahwa bibir pantai di Pelindo 2 itu asset Pemda Bank DKI Jakarta. Bisa dibayangkan berapa banyak kapal yang berlabuh setiap harinya dan berbayar,” katanya.

Sementara itu, Husny mengapresiasi permintaan maaf Gubernur Jakarta Pramono Anung. Meskipun kemacetan tersebut bukanlah kesalahan Gubernur. 

"Kemudian terjadi permintaan maaf dari seorang Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Nah justru ini kita mengapresiasi sikap permohonan maaf pak gubernur ini, ini bentuk sikap ksatria seorang pemimpin yang sedang berempati kepada warganya yang mengalami kesulitan". pungkasnya. (***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...