Langsung ke konten utama

Tokoh Betawi: Tidak Ada Pembubaran Bamus Betawi 1982

Suarakaumbetawi.com Jakarta,-Beredarnya isu pembubaran Bamus Betawi 1982 setelah terbentuknya Majelis Kaum Betawi yang dinakhodai oleh Marullah Matali belum lama ini ditepis oleh seorang tokoh Betawi kharismatik, yang juga merupakan anggota Majelis Adat Bamus Betawi 1982, KH. Ahmad Jaelani, Lc.

“Yang bubar itu Dewan Pengurus Bamus Betawi 1982, dikarenakan masa baktinya telah habis sejak tanggal 22 Agustus yang lalu. Sementara Majelis Adatnya masih tetap ada, dan punya kewenangan sebagaimana diatur dalam AD/ARTnya untuk memilih dan mengangkat pengurus baru tanpa harus Musyawawah Besar (Mubes),” kata KH. Jaelani.

Lebih jauh Kyau Jaelani, yang merupakan Ketua DKM Masjid Assa’adah di Simprug Golf Jakarta Selatan ini ibarat sebuah ijtihad, Majelis Kaum Betawi (MKB) ini hasil ijtihad, sementara Bamus Betawi 1982 juga merupakan ijtihad yang terdahulu. Tidak boleh sebuah ijtihad menggugurkan ijtihad yang lain.

“Kalau belajar fiqh, kita akan mengenal adanya Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya Imam Syafi’i. Perubahan pendapat itu muncul, disebabkan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Imam Syafi’i berbeda satu dengan lainnya,” pungkas Kyai Jaelani.(Red) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...