SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Setiap tahun, isu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hampir selalu menghiasi ruang publik. Defisit dianggap sebagai konsekuensi wajar dari besarnya belanja negara yang melebihi penerimaan. Namun yang patut dipertanyakan adalah: mengapa setiap kali APBN defisit, solusi instan yang diambil pemerintah selalu berulang menambah utang atau menaikkan pajak? Bukankah ada opsi lain yang lebih adil, yang tidak melulu membebani rakyat kecil?
Pajak: Beban yang Semakin Berat bagi Rakyat
Kebijakan menaikkan pajak kerap dijustifikasi sebagai langkah realistis untuk menutup kekurangan anggaran. Namun dalam praktiknya, kenaikan pajak hampir selalu dirasakan langsung oleh masyarakat bawah dan menengah. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) misalnya, berdampak pada kenaikan harga barang konsumsi sehari-hari, dari bahan pokok hingga jasa. Demikian pula dengan kenaikan cukai, pajak kendaraan bermotor, atau berbagai retribusi daerah semuanya berujung pada melemahnya daya beli masyarakat.
Padahal, kondisi ekonomi rakyat sudah penuh tekanan: biaya pendidikan yang mahal, harga kebutuhan pokok yang tidak stabil, hingga beban transportasi yang meningkat. Menambah pajak di tengah situasi seperti ini sama saja memperparah luka lama. Rakyat dipaksa berhemat dan berkorban, sementara elite justru masih menikmati berbagai fasilitas mewah dari uang negara.
Jalan Pintas: Utang yang Membebani Generasi
Selain pajak, opsi lain yang selalu digunakan pemerintah adalah menambah utang. Dari tahun ke tahun, jumlah utang negara terus meningkat, dengan dalih untuk menutupi defisit dan membiayai pembangunan. Namun, pertanyaannya: apakah utang itu benar-benar produktif? Apakah hasil utang dipakai untuk investasi jangka panjang yang memberi manfaat besar bagi rakyat, atau justru untuk menutup belanja rutin yang boros?
Utang tidak hanya membebani APBN hari ini, tetapi juga menjerat generasi mendatang. Anak cucu bangsa harus membayar bunga dan cicilan, padahal mereka tidak pernah menikmati langsung hasil dari utang tersebut. Jika pemerintah terus bergantung pada utang, kedaulatan ekonomi kita pun bisa terancam, karena kebijakan fiskal akan lebih tunduk pada syarat-syarat kreditur internasional.
Solusi yang Terabaikan: Pangkas Privilege Elite
Ironisnya, ketika rakyat diminta berkorban lewat pajak dan utang, pos-pos belanja negara yang boros justru tetap aman. Direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) misalnya, masih menikmati tunjangan dan fasilitas yang fantastis, meski kinerja sebagian BUMN sering kali merugi. Anggota legislatif mendapat berbagai fasilitas mewah, mulai dari gaji tinggi, tunjangan perjalanan, hingga dana reses. Sementara pejabat eksekutif dan yudikatif juga tidak kalah besar dalam hal fasilitas dan alokasi anggaran.
Apabila pemerintah serius ingin menyehatkan APBN, mengapa tidak memulai dari atas? Mengapa tidak memangkas tunjangan, fasilitas, dan pengeluaran yang jelas-jelas tidak produktif? Dengan memotong belanja non-esensial dari elite, negara bisa menghemat triliunan rupiah tanpa harus menambah pajak rakyat. Inilah langkah moral sekaligus politis yang seharusnya ditempuh untuk membuktikan keberpihakan kepada rakyat.
Indonesia Kaya, Tapi Salah Urus
Indonesia bukanlah negara miskin. Kita dikaruniai sumber daya alam yang luar biasa tambang, minyak, gas, hutan, laut, dan pertanian. Kita juga memiliki bonus demografi dengan tenaga kerja muda yang melimpah. Semua ini seharusnya menjadi modal besar untuk memakmurkan rakyat. Sayangnya, potensi itu sering hilang karena salah urus.
Korupsi yang mengakar, birokrasi yang boros, serta mentalitas serakah dari sebagian pengelola negara membuat kekayaan Indonesia bocor ke mana-mana. Alih-alih digunakan untuk kepentingan publik, anggaran justru kerap dipakai untuk proyek mercusuar, mark-up, atau bahkan dikorupsi. Jika perilaku ini tidak diubah, maka berapapun besar penerimaan negara, selalu terasa tidak cukup.
Reformasi Belanja: Kunci Menyelamatkan APBN
Defisit APBN seharusnya menjadi momentum untuk melakukan reformasi belanja negara. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh:
1. Evaluasi pos belanja tidak produktif. Pangkas tunjangan mewah pejabat, fasilitas berlebihan, serta kegiatan seremonial yang tidak bermanfaat.
2. Fokus pada belanja produktif. Pastikan anggaran benar-benar dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
3. Perkuat pemberantasan korupsi. Bocornya APBN akibat korupsi jauh lebih besar dibandingkan defisit itu sendiri.
4. Tingkatkan transparansi dan akuntabilitas. Anggaran negara harus terbuka, mudah diakses publik, dan diawasi secara ketat oleh lembaga independen maupun masyarakat.
Dengan cara ini, APBN bisa lebih sehat tanpa harus membebani rakyat melalui pajak tambahan atau utang baru.
Defisit APBN bukan alasan untuk selalu mengorbankan rakyat. Kebijakan menaikkan pajak atau menambah utang hanyalah solusi instan yang tidak menyelesaikan akar masalah. Indonesia sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi negara makmur. Kuncinya ada pada pengelolaan yang jujur, berintegritas, dan berpihak kepada rakyat.
Seharusnya, pemerintah berani memangkas tunjangan elite, menghentikan pemborosan, serta memberantas korupsi. Dengan begitu, APBN tidak lagi defisit karena salah urus, melainkan menjadi instrumen nyata untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar