SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, — Pada awal Juni 2025, tepat menjelang ulang tahun ke-498 Kota Jakarta, sebuah diskusi hangat mengemuka di ruang pertemuan Hotel Mercure, Ancol. Sarasehan III Kaukus Muda Betawi menjadi panggung pertemuan lintas generasi: akademisi, budayawan, hingga tokoh masyarakat, berkumpul demi satu perkara yang dianggap kian mendesak: pembentukan Lembaga Adat Masyarakat Betawi.
Di tengah modernisasi yang terus menggilas lanskap sosial dan budaya Jakarta, wacana ini menyeruak sebagai sebuah ikhtiar membangun rumah bagi identitas Betawi yang lama tercerai-berai. Bukan rumah dalam pengertian fisik, melainkan rumah simbolik, rumah kultural, tempat berpulangnya akar dan nilai-nilai yang telah membentuk peradaban Betawi sejak kota ini bernama Batavia.
Profesor Lili Romli dari BRIN membuka diskusi dengan penekanan pada pentingnya peran generasi muda.
“Kaukus Muda Betawi harus memainkan peran strategis. Jangan sampai terpinggirkan dalam momentum bonus demografi,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa sejarah mencatat peran vital pemuda Betawi dalam perjuangan bangsa, menyebut nama-nama seperti Mohammad Rochjani Su’ud dan Mohammad Husni Thamrin.
UU No. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, menurut Lili, memberi ruang legal untuk pemajuan budaya Betawi. Dukungan kebijakan dari Pemerintah Provinsi Jakarta menjadi celah penting untuk membangun sistem kebudayaan yang tidak sekadar seremonial, melainkan inklusif dan berkelanjutan.
Pandangan itu diamini oleh Halimatusa’diyah, peneliti BRIN lain yang menyoroti tekanan gentrifikasi terhadap komunitas Betawi.
“Identitas Betawi diakui secara simbolik, namun komunitasnya justru terpinggirkan,” ucapnya.
Ruang ekspresi seni yang menyempit, menurunnya penggunaan bahasa Betawi, hingga lemahnya ekonomi budaya menjadi daftar panjang keprihatinan. Ia menawarkan lembaga adat sebagai jawaban atas dislokasi itu.
“Lembaga adat bisa menjadi pusat dokumentasi budaya, katalis pendidikan, fasilitator ekonomi kreatif, dan jembatan antargenerasi. Ia harus masuk dalam kurikulum lokal Jakarta,” katanya.
Rasminto, akademisi muda Betawi, membawa data yang menohok: 70,04 persen generasi muda Betawi tak mampu menyebutkan tiga unsur budaya mereka sendiri. Ia menyebut gentrifikasi dan alih fungsi lahan sebagai penyebab utama. “Revitalisasi pendidikan budaya sejak dini dan komunitas budaya berbasis digital menjadi keharusan,” katanya.
Berbeda dari suku lain seperti Batak dan Minang, Betawi tak memiliki struktur adat formal yang mapan. Hal itu diulas oleh Prof. Yasmine Zaki Shahab, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia.
“Struktur adat Betawi itu cair. Yang kuat justru adalah jaringan tokoh kampung dan majelis taklim,” ujarnya.
Karena itu, pembentukan lembaga adat mesti disesuaikan dengan karakter masyarakatnya: akomodatif dan berbasis pada tokoh-tokoh lokal, bukan model hierarkis yang kaku. Inilah rumah yang mesti dibangun dengan bahan-bahan yang dikenali warganya sendiri.
Dukungan politik datang dari Gubernur Jakarta, Pramono Anung, yang menegaskan bahwa pembentukan Lembaga Adat Masyarakat Betawi adalah mandat dari Undang-Undang DKJ. Ketua DPRD Jakarta, Khoirudin, pun menegaskan komitmen mempercepat revisi Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Dalam sesi khusus bertajuk “Bang Doel Menyimak”, Wakil Gubernur Rano Karno menyatakan komitmennya.
“Saya akan putuskan bahwa yang ingin kita bentuk ini adalah Lembaga Adat Masyarakat Betawi,” tegasnya.
Rano menilai lembaga ini akan memberikan legitimasi hukum dan kelembagaan bagi masyarakat adat Betawi di tengah geliat pembangunan kota Jakarta.
Namun tidak semua suara mengalir tanpa kritik. KH Kiki dari Jakarta Islamic Centre mengingatkan pentingnya peran para mualim, guru-guru pengajian, dalam pembentukan lembaga ini.
“Ramenya kita karena mualimnya nggak pernah dihadirin. Balikin lembaga adat ke orang yang ngajarin kita alif-alifan,” katanya.
Bahkan Ia mengusulkan penguatan literasi dan pakem lembaga adat melalui kitab-kitab lokal seperti karya Mualim Syafi’i Hamzani yang menjarkan adab dan kehidupan bermasyarakat contohnya, dan masih banyak kitab lainnya dari para muslim Betawi yang dianggap relevan dan tidak berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ia pun menyarankan untuk menghidupkan kembali aksara Arab Melayu yang menjadi aksara pertama yang dikenal masyarakat Betawi.
Budayawan Yahya Andi Saputra menegaskan bahwa lembaga adat tidak boleh menjadi alat politik. Ia menyarankan tokoh ulama yang menjadi ketua adat, dengan kolaborasi tokoh 'jago' seperti dalam sejarah Betawi. Sedangkan, Prof Lili menanggapi santai.
“Boleh saja tokoh politik, tapi wakilnya saja,” ucapnya disambut riuh tawa dan tepuk tangan hadirin.
KH Lutfi Hakim, Penasihat Kaukus Muda Betawi sekaligus pimpinan FBR, menegaskan bahwa lembaga adat bukan ormas. “Jangan takut. Ini bukan saingan ormas. Justru kita harus bersatu untuk masa depan Betawi,” ujarnya. Bahkan, sebagai pimpinan ormas besar, ia menyatakan siap mundur jika keberadaan lembaga adat membawa kemaslahatan.
KH Lutfi menutup dengan analogi yang dalam: filosofi pembuatan golok Betawi, khususnya golok Cakung.
“Golok pamor tercipta bukan dari satu bahan metal, melainkan banyak. Begitulah hebatnya orang tua kita. Mereka bisa menyatukan keragaman,” tutupnya.
Sarasehan ini bukan sekadar forum wacana. Ia adalah batu pijakan menuju satu rumah bersama yang lama dicari oleh orang Betawi. Rumah yang diimpikan bukan untuk berlindung dari gempuran zaman, tetapi tempat dari mana orang Betawi bisa berdiri tegak, dikenal, dan dihormati, sebagai tuan rumah di kota yang mereka lahirkan.
Komentar
Posting Komentar