Langsung ke konten utama

Gelar FGD, MUI Jakarta Rumuskan Pencegahan Tawuran Remaja Berbasis Nilai Keagamaan

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, 26 November 2025 — Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Peran MUI DKI Jakarta dalam Merumuskan Rekomendasi Kebijakan Pencegahan Tawuran Remaja Berbasis Nilai-Nilai Keagamaan.”

Kegiatan berlangsung di Gedung G Lantai 5, Balai Kota Jakarta, dengan kehadiran peserta terbatas yang mewakili unsur pemerintahan, akademisi, dan organisasi masyarakat.

FGD ini merupakan tahap kedua dari rangkaian upaya yang telah dirancang MUI DKI Jakarta, setelah pelaksanaan Workshop pencegahan tawuran remaja dua bulan sebelumnya. Tahap berikutnya adalah penyusunan pedoman dan modul pembinaan remaja berbasis nilai agama untuk wilayah DKI Jakarta.

Dalam sambutan pembukaan, Ketua Umum MUI DKI Jakarta menyampaikan bahwa tawuran remaja masih menjadi persoalan sosial yang serius di Jakarta. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta dan Kesbangpol, wilayah dengan angka tawuran tertinggi meliputi Karang Anyar (Sawah Besar), Kampung Rawa (Johar Baru), Mangga Besar Selatan, Pegangsaan, dan Kramat (Senen) .

Temuan lapangan MUI memperlihatkan bahwa pemicu tawuran remaja secara dominan adalah provokasi lintas wilayah, tekanan kelompok sebaya, konsumsi minuman keras, minimnya pembinaan remaja di tingkat RW, serta lingkungan padat yang tidak ramah anak muda .

Ketua Panitia FGD menegaskan bahwa kegiatan ini ditujukan untuk menggali akar masalah secara lebih mendalam sekaligus merumuskan solusi yang realistis dan rekomendasi kebijakan yang dapat diadopsi oleh lembaga pemerintah terkait. FGD ini menjadi salah satu langkah konstruktif MUI DKI Jakarta dalam memperkuat upaya pencegahan kenakalan remaja berbasis nilai agama .

Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari unsur MUI DKI Jakarta, Kesbangpol, Polda Metro Jaya, Kanwil Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, BPS DKI Jakarta, Biro PPAPP, Biro Kesra, akademisi, dan organisasi kepemudaan .

Untuk mencapai target hasil, FGD dibagi menjadi tiga kelompok pembahasan:

1. Kelompok 1 — Akar Permasalahan
Mengidentifikasi faktor penyebab internal dan eksternal tawuran remaja.

2. Kelompok 2 — Solusi dan Model Intervensi
Merumuskan strategi pencegahan berbasis masjid, sekolah, keluarga, dan komunitas.

3. Kelompok 3 — Rekomendasi Kebijakan
Menyusun rekomendasi untuk Kemenag, Kesbangpol, BPS, Polda Metro Jaya, dan Dinas Pendidikan .

Ketua Umum MUI DKI Jakarta menegaskan pentingnya membangun ekosistem pembinaan remaja yang terintegrasi. “Masjid, keluarga, sekolah, dan lembaga pemerintah harus menjadi satu ekosistem pemulihan nilai—ekosistem yang menanamkan akhlak, menguatkan karakter, dan menyediakan ruang aman bagi generasi muda kita,” ujarnya .

Output utama FGD meliputi:

Peta akar permasalahan tawuran remaja di Jakarta

Daftar solusi dan model pembinaan berbasis nilai agama

Rekomendasi kebijakan kepada lembaga pemerintah terkait

Penyusunan Gerakan Jakarta Tanpa Tawuran Berbasis Nilai Keagamaan

Draft pedoman dan modul pembinaan remaja untuk implementasi berkelanjutan .

Melalui kegiatan ini, MUI DKI Jakarta menegaskan komitmennya untuk menjadi moral force dan policy partner, serta mendukung penciptaan Jakarta yang aman, damai, dan religius, terutama bagi generasi muda. kegiatan ini akan dilanjutkan dengan menyusun pedoman dan modul yang bersifat Implementatif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Ketum FBR Serukan Geruduk Trans7 dan Tuntut Permohonan Maaf

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA – Media sosial kembali diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, yang mendadak viral pada Selasa pagi, 14 Oktober 2025. Tagar tersebut muncul menyusul tayangan program Xpose Uncensored milik Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan di salah satu pondok pesantren ternama, Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video dari acara itu dinilai provokatif dan menuai kecaman dari warganet, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tayangan tersebut dianggap bersifat stereotip, agitatif, dan berpotensi merusak citra ulama tradisional. Ketua Umum FBR sekaligus Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, KH Lutfi Hakim, menyesalkan tayangan tersebut.  "Tidak hanya membahayakan citra seorang ulama tradisional, tetapi juga melecehkan kehidupan pesantren di Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang menekankan tazim dan adab terhadap ulama harus dihormati," ujar Lutfi Hakim dalam keterangan resminya, Selasa 14 Oktober 2025. Menurutnya, media massa memiliki tanggung j...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...