Langsung ke konten utama

Air Bersih untuk Rakyat: Profesionalisme, Budaya, dan Nilai Spiritualitas di PAM Jaya


SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA - Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014–2019, Prasetio Edi Marsudi, mengungkapkan perjalanan panjang pengelolaan Perusahaan Air Minum (PAM) JAYA yang selama puluhan tahun dikuasai swasta. 

Dalam lokakarya bertema “Menakar Masa Depan Air di Jakarta, Akankah Menjadi Air Mata?” yang digelar MUI Provinsi Jakarta bekerja sama dengan PAM JAYA, Senin (6/10/2025), Prasetio menceritakan proses akuisisi dua perusahaan swasta, Palyja dan Aetra, untuk memastikan pelayanan air bersih merata.

“Masalah PAM itu saya tahu persis. Akhirnya penjajahan selama 25 tahun terlepas dari yang namanya Aetra dan Palyja,” ujar Prasetio. 

Ia menjelaskan bahwa dana Rp650 miliar untuk akuisisi awalnya sempat berpindah tangan di salah satu bank, baru dikembalikan saat Anies Baswedan menjabat gubernur dan digunakan untuk penyertaan modal pembangunan Stadion Jakarta International Stadium (JIS). 

Ia menekankan pentingnya distribusi air bersih bagi warga menengah ke Bawah. “Visinya adalah, ke depan sambungkan semua. Menengah ke bawah harus semua terinstalasi,” jelas Pras -sapaan akrab Prasetio Edi Marsudi-.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua 1 MUI Provinsi Jakarta, KH. Yusuf Aman, menegaskan bahwa air adalah anugerah Allah SWT dan sumber kehidupan yang harus dijaga. “Air adalah anugerah. Ini berangkat dari firman Allah dalam Surah Al-Anbiya, dimana isi Surah itu berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang,” jelasnya. 

Ia menambahkan, kekurangan cairan dapat menyebabkan dehidrasi, sementara pemberian air memiliki nilai ibadah tinggi. “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah SWT daripada setetes air yang diberikan, baik kepada manusia maupun makhluk lainnya.” KH. Yusuf juga menekankan pentingnya menjaga sumber daya air secara budaya, termasuk kearifan lokal masyarakat Betawi.

Sementara itu, Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho, menyoroti perubahan status PAM Jaya dari Perumda menjadi Perseroda, yang sering disalahartikan sebagai privatisasi. 

“Air adalah anugerah Allah SWT yang paling mendasar bagi kehidupan… Perubahan status PAM Jaya menjadi perseroda bukan hanya momentum strategis yang membawa peluang, tetapi juga tantangan baru,” kata Agung.

Ia menekankan bahwa tarif air tetap diawasi pemerintah dan DPRD. “Mayoritas saham tetap dikuasai Pemprov DKI,” sambil menekankan peluang pengelolaan yang lebih profesional dan efisien serta kedaulatan air untuk kepentingan ekonomi daerah.

Dekan Fakultas Administrasi Negara Universitas Krisnadwipayana (UNKRIS), Reza Hariyadi, menekankan dualitas air sebagai barang publik sekaligus barang ekonomi. “Ketika air dipandang sebagai barang publik, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan tanpa memandang kemampuan ekonomi masyarakat… Air juga merupakan komoditas ekonomi yang memiliki nilai komersial,” ucap Reza.

Reza menegaskan pentingnya akuntabilitas publik dalam transformasi PAM Jaya menjadi perseroda, agar dapat memenuhi dua fungsi sekaligus, menyediakan layanan publik yang merata dan tetap hidup sebagai entitas bisnis yang kuat.

Wakil Ketua PW Muhammadiyah Provinsi Jakarta, KH. Nurhadi, menyoroti dimensi teologis pengelolaan air. “Ini bukan cuma tanggung jawab institusi, tapi ini tanggung jawab teologis,” ujarnya. 

Ia menjelaskan tiga pendekatan, Bayani (tekstual, berbasis agama), Burhani (sains dan teknologi untuk kemakmuran rakyat), dan Irfani (tasawuf, maksimalisasi potensi dan manajemen tepat). 

KH. Nurhadi menutup dengan menegaskan prinsip utama kebijakan public. “Ketika bicara tentang kekuasaan pemerintahan, kebijakan pemimpin harus berbasis kemaslahatan rakyat, bukan kemaslahatan pemegang kuasa.”

Sebelumnya, Ketua Panitia Lokakarya, KH. Lutfi Hakim menekankan air sebagai sumber kehidupan yang melampaui aspek material, memiliki makna spiritual, budaya, dan sosial. “Air adalah sumber kehidupan itu sendiri. Dan itu diakui sejak peradaban manusia dimulai,” ujar Lutfi. 

Ia mencontohkan tradisi siraman Jawa, upacara melukat Bali, dan simbol air dalam budaya Betawi, serta menyoroti tantangan privatisasi air di Jakarta. Lutfi menegaskan pentingnya tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab social. “Transformasi PAM Jaya menjadi perseroda harus dibaca sebagai momentum untuk memperkuat profesionalitas bisnis dan tanggung jawab sosial,” tambahnya.

Sementara itu, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jakarta, KH. Auzai Mahfuz menekankan air sebagai simbol universal dan peradaban. “Air ini tidak mengenal agama. Nabi kita bersabda bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan yang harus dipenuhi bersama, bergandengan tangan tanpa memandang keyakinan. Yang pertama adalah air, yang kedua udara, dan yang ketiga adalah api. Tiga hal ini menjadi hak bersama umat manusia,” jelasnya. 

Dan dari air, manusia dapat belajar tentang kebersamaan, keadilan, dan kearifan dalam mengelola alam.

"Air bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga sumber strategi, sumber kekuatan, dan sumber peradaban. Dari air, kita belajar tentang kebersamaan, keadilan, dan kearifan dalam mengelola alam,” ungkapnya.

Secara keseluruhan, transformasi PAM Jaya dan pengelolaan air bersih di Jakarta mencerminkan sinergi antara kebijakan publik, profesionalisme bisnis, nilai teologis, dan budaya lokal, dengan tujuan akhir memastikan setiap warga memperoleh hak dasar mereka: air bersih yang aman, merata, dan berkelanjutan.****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Ketum FBR Serukan Geruduk Trans7 dan Tuntut Permohonan Maaf

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA – Media sosial kembali diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, yang mendadak viral pada Selasa pagi, 14 Oktober 2025. Tagar tersebut muncul menyusul tayangan program Xpose Uncensored milik Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan di salah satu pondok pesantren ternama, Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video dari acara itu dinilai provokatif dan menuai kecaman dari warganet, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tayangan tersebut dianggap bersifat stereotip, agitatif, dan berpotensi merusak citra ulama tradisional. Ketua Umum FBR sekaligus Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, KH Lutfi Hakim, menyesalkan tayangan tersebut.  "Tidak hanya membahayakan citra seorang ulama tradisional, tetapi juga melecehkan kehidupan pesantren di Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang menekankan tazim dan adab terhadap ulama harus dihormati," ujar Lutfi Hakim dalam keterangan resminya, Selasa 14 Oktober 2025. Menurutnya, media massa memiliki tanggung j...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...