Langsung ke konten utama

Pemprov DKI Resmikan Kampung Budaya Betawi Sukapura

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, 27 Juli 2025 – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meresmikan Kampung Budaya Betawi Sukapura di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, pada Minggu (27/7) malam. Kampung budaya ini menjadi yang pertama di Jakarta dan diharapkan menjadi percontohan dalam pelestarian seni dan tradisi Betawi.

Peresmian dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diwakili Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Mochamad Miftahulloh Tamary, ditandai dengan penampilan Gambang Kromong yang seluruh personelnya merupakan ibu-ibu warga setempat.

Ia menjelaskan, bahwasanya kampung Budaya Betawi Sukapura merupakan wujud kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga identitas Betawi. Pemprov DKI Jakarta berkomitmen untuk terus memberikan perhatian terhadap kebudayaan termasuk dukungan pelatih.

Keberadaan kampung budaya ini diharapkan mampu menjadi ruang tumbuh bagi generasi muda agar terlibat dalam kegiatan dan interaksi yang positif.

“Saya yakin, kalau di luar sana banyak anak muda yang terlibat hal negatif, maka di sini anak-anak mudanya akan disibukkan dengan kegiatan positif. Ibu-ibunya saja hebat, tentu remajanya lebih hebat lagi. Pak Gubernur dan Wakil Gubernur berharap anak-anak Sukapura bisa sukses ke depannya,” imbuhnya.

Mochamad Miftahulloh Tamary, juga menegaskan bahwa Kampung Budaya Betawi Sukapura akan menjadi bagian penting dari persiapan menuju 500 tahun Jakarta, sekaligus memperkaya identitas kebudayaan kota.

Sementara itu, Inisiator Kampung Budaya Betawi Sukapura, Yusriah Dzinnun, menyampaikan bahwa kehadiran kampung budaya ini bertujuan menghadirkan ruang interaksi sekaligus sarana pengembangan potensi seni masyarakat.

“Seperti namanya, kampung ini menjadi ruang kreatif bagi warga,ada interaksi khususnya untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Betawi. Pelatihan seni seperti Gambang Kromong, tari Betawi, batik, dan silat telah berjalan secara swadaya dengan melibatkan ibu-ibu, pemuda, dan karang taruna,” jelas Yusriah.

Acara peresmian Kampung Budaya Betawi Sukapura ini juga bertepatan dengan tasyakuran Milad ke-24 Forum Betawi Rempug (FBR). Turut hadir Ketua PMI Provinsi DKI Jakarta Haji Beki Mardani, Ketua Umum FBR KH Lutfi Hakim, jajaran Forkopimda Jakarta Utara, Kepala Rumah Sakit Pekerja H. Ahmad Mawaeardi, serta para lurah se-Kecamatan Cilincing.

Ketua Umum FBR, KH Lutfi Hakim, menekankan bahwa pelestarian budaya harus menjadi bagian dari pembangunan manusia di tengah kemajuan kota. Menurutnya, merawat budaya adalah memperkuat jati diri. Perbedaan justru menjadi kekuatan luar biasa bila dirawat dengan cinta. Jakarta tidak akan menjadi kota global tanpa akar budaya yang kuat, dan budaya Betawi adalah identitas yang harus dijaga. Pada kesempatan ini, wakil Ketua NU DKI Jakarta itu juga menyampaikan apresiasinya kepada Pemprov DKI Jakarta yang telah menjadikan budaya Betawi tampil di muka.

"Hari ini di bawah kepemimpinan Pramono Doel, Jakarta punya identitas budaya. Dan budaya itu adalah budaya Betawi. Merawat budaya, menggunakan bahasa daerah dalam publik, jangan diartikan perlawanan terhadap kemajemukan tapi jati diri kita. Tapi budaya jadi fanatisme manaka identitas itu kita kita gunakan untuk menolak kelompok yang laen," ucapnya

Dengan diresmikannya Kampung Budaya Betawi Sukapura, wilayah ini menjadi pionir kampung budaya di Jakarta. Keberadaannya diharapkan menjadi wadah silaturahmi, pengembangan kreativitas, dan pelestarian seni budaya Betawi, sekaligus memperkuat karakter masyarakat di tengah dinamika perkembangan kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

Ketum FBR Serukan Geruduk Trans7 dan Tuntut Permohonan Maaf

SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA – Media sosial kembali diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, yang mendadak viral pada Selasa pagi, 14 Oktober 2025. Tagar tersebut muncul menyusul tayangan program Xpose Uncensored milik Trans7 yang dianggap menyinggung kehidupan di salah satu pondok pesantren ternama, Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Potongan video dari acara itu dinilai provokatif dan menuai kecaman dari warganet, khususnya kalangan santri dan alumni pesantren. Tayangan tersebut dianggap bersifat stereotip, agitatif, dan berpotensi merusak citra ulama tradisional. Ketua Umum FBR sekaligus Wakil Ketua PWNU DKI Jakarta, KH Lutfi Hakim, menyesalkan tayangan tersebut.  "Tidak hanya membahayakan citra seorang ulama tradisional, tetapi juga melecehkan kehidupan pesantren di Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang menekankan tazim dan adab terhadap ulama harus dihormati," ujar Lutfi Hakim dalam keterangan resminya, Selasa 14 Oktober 2025. Menurutnya, media massa memiliki tanggung j...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...