Oleh Rano Karno, Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta
SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA,
Jakarta adalah dermaga yang riuh. Kapal datang dan pergi, meninggalkan bahasa, kabar, dan secuil luka di bibir pelabuhan. Di bawah langit yang menjingga—azan dan sirene ambulans mengisi udara kota yang menyimpan debu. Banyak nama singgah. Tak sedikit yang memilih berdiam, tinggal sebagai perantau.
Sejarah Jakarta tak melulu berjalan lempang. Kerap ia berkelok-kelok seperti sungai yang memburu muara. Ada parade dan ada hening; ada proklamasi dan ada jam malam; ada gebyar lampu dan ada saat-saat ketika malam jadi mencekam. Kita pernah mengenal banjir yang menenggelamkan jalan dan halaman, krisis yang nyaris menelan harapan, pun keramaian yang sekonyong-konyong menjadi amarah. Namun kota ini, dengan cara yang penuh romansa, terus melangkah. Jakarta bukan museum yang membisu. Ia terus bergerak, meskipun bergerak itu artinya memikul beban, menawar luka, membangun lagi dari sisa-sisa.
Kita sering lupa: Jakarta bukan cuma hamparan daratan. Pada petang tertentu, dari tepi utara, angin membawa asin dari teluk dan pesisir. Di siang hari, dari selatan, debu menari mengikuti pengeboran jalan. Di pelabuhan—dulu, kini, nanti—perjumpaan selalu terjadi: kapal datang dan pergi, orang tiba dan menetap, barang naik-turun, dan bahasa bercampur. Dari dermaga itulah, dari pasar-pasar, dari jalan-jalan, lahir sebuah kebudayaan yang kelak kita kenal hari ini: Betawi.
Betawi bukan suku yang tumbuh dari satu pohon; ia taman yang disirami banyak musim. Dari Melayu ia meminjam ujar; dari Sunda ia menjemput nada; dari Jawa ia belajar luwes; dari Bugis ia mengikat keberanian melaut; dari Minang ia menyiapkan lidah pada rempah; dari Ambon dan Maluku ia menampung ritme; dari Tionghoa ia menyambut bahasa, kuliner, gambang kromong; dari Arab-Hadhrami ia memeluk maulid dan syair; dari Portugis ia memberi rasa pada tanjidor; dari Eropa ia mengenal batu bata dan pintu kayu jati yang dibuka sore-sore agar angin bebas melintas. Betawi adalah halaman depan rumah-rumah yang saling terhubung oleh lorong, cerobong waktu, dan serambi.
Karena itu, sejak dulu Jakarta terbiasa dengan kemajemukan. Perbedaan bukan tamu bagi Jakarta; ia penghuni lama. Dalam pergaulan warga Betawi sehari-hari, “Masuk, Bang, jangan _pake_ sungkan. Kalau perlu _ape-ape_, bilang _aje_,” bukan sekadar sapa, melainkan keputusan untuk membuka gerbang, menyodor kursi, menjamu kopi di teras rumah. Di sudut-sudut kampung, rumah berbatas pagar pohon, tapi di dalamnya lauk sering berganti piring: keliling dari rumah ke rumah, dari tetangga ke tetangga. Di kalendernya berlimpah hari-hari raya, dan di petanya ada banyak rumah ibadah—masjid, gereja, wihara, pura, klenteng—berbagi pagi yang sama, membagi jarak yang tak pernah jauh untuk saling menikmati syahdunya berdoa.
Khas Betawi bukan hanya baju sadariah dan gabus pucung, bukan sekadar lenong dan tanjidor. Kekhasannya adalah cara menata hati kala tetangga berbeda. Ada humor yang memecah ketegangan, ada “cuek yang ramah”—tidak gampang sakit hati, tetapi tahu kapan harus tegas. Ada tradisi menertawakan diri sebelum menertawakan orang lain. Ada kebiasaan memanggil orang dengan “abang” atau “mpok”—dengan sadar mencipta semacam relasi sebagai keluarga kecil di jalan-jalan. Dalam kebiasaan itu, kita belajar: kedekatan adalah keputusan, bukan kebetulan.
Maka ketika penghujung Agustus lalu kota kembali diramaikan gegap gempita aksi massa, bagi Jakarta ini bukan peristiwa baru. Di sini, suara publik kerap memilih jalan raya. Demonstrasi, menyatakan pikiran, berdiri di bawah terik sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan terkepal—itu semua hak yang dijamin konstitusi. Jakarta ikut melindungi aksentuasi pikiran. Kota ini sudah lama tahu cara mendengar, meski kadang ia lupa menenangkan diri. Namun kita juga harus terus belajar dari yang silam: konstitusi menjamin kebebasan bersuara, bukan nyala api; pasal-pasal menjamin pendapat, bukan perusakan, bukan bakar membakar.
Aksi yang melukai barang-barang publik—halte, lampu jalan, jembatan penyeberangan—pada akhirnya melukai perasaan warga Jakarta yang sehari-hari bergantung pada fasilitas itu untuk mengais nafkah, menjemput anak sekolah, menyusur jalan menjangkau rumah. Ada banyak hati yang patah ketika melihat tempat sehari-hari menanti bus TransJakarta lamat-lamat dilalap api. Ada perasaan yang remuk ketika lintasan JPO—tempat orang berfoto dan berlalu lalang, ikut dirusak. Di akar budayanya yang kosmopolit, Jakarta tidak merayakan anarkisme. Ia menerima perbedaan, tetapi menolak pembakaran sebagai tanda baca. Jakarta tak menerima kota dibumi-hangus.
Boleh jadi, pada waktu-waktu tertentu, kita melihat provokasi yang bertujuan mengubah pawai pikiran menjadi ledakan amarah. Kota besar—dengan jalan-jalan lebar dan gang-gang rapat—selalu memiliki ruang bagi penyusup yang ingin mencuri suasana. Namun Jakarta punya benteng yang mewah: tetangga _kite_ adalah _sodara kite_. Di sinilah, alih-alih mengangkat telunjuk sibuk menyalahkan, Pramono Anung, Gubernur Jakarta, mengajak semua orang—dengan rendah hati menunduk—kembali ke cara paling tua dari sebuah kota: menjaga bersama. Bang Anung, sapaan barunya, mengirim pesan tanpa kata-kata. Ia mengambil keputusan, CFD berjalan tanpa sungkan. Dan Jakarta tetap bergegas menjemput hari tanpa beringas.
Jaga Jakarta. Frasa itu terdengar sederhana, tetapi ia mengandung ajakan yang menyala. Di halte yang gosong, kita menyimak pengemudi ojol—yang selama ini hafal jalan-jalan kecil—menjadi relawan yang memandu bersih-bersih. Dengan seragam hijau yang sehari-hari berkejaran, mereka menyapu, mengangkat puing, mengecat dinding. Siswa-siswi SMU/SMK—yang tiap hari menempuh kota dengan angkot, TransJakarta, MRT—diajak merawat bangku, membenahi pagar, menanam kembali pohon yang hangus. Pekerjaan kecil yang terasa sepele, tapi justru itulah cara paling cepat menutup luka: mengembalikan fungsi, sebelum mengembalikan rupa.
Di tingkat RT/RW, tokoh agama—ustaz, pendeta, biksu, romo—datang bukan untuk menambah khutbah, melainkan mengaruniai tenang. Mereka mengetuk pintu, merangkul anak-anak muda, menyusun jadwal jaga agar malam menjadi milik warga, bukan milik desas-desus. Tokoh masyarakat dan para sesepuh kampung mengikat kembali tali lama: ronda, _ngobrol ngalor-ngidul_ sambil _nyarap_ di balai warga, mengenali wajah-wajah yang selalu ada dan wajah-wajah yang tiba-tiba datang. Bukan untuk mencurigai, melainkan untuk menyapa lebih awal—sebab sapaan dan sambutan selamat datang seringkali menjadi pagar paling kokoh.
Jaga Jakarta bukan program yang menggelar ribuan spanduk. Ia adalah rutinitas harian: mengantar sampah ke tempatnya, menegur dengan santun, memadamkan api kecil sebelum beranjak besar. Ia mengundang kita untuk berpikir ulang tentang kepemilikan: halte itu punya _kite_, jalan itu punya kite _reramean_, kota ini punya _bareng-bareng_. Dan bila sesuatu milik bersama, maka perawatannya tidak bisa di-outsource. Pemerintah melakukan tugasnya: memperbaiki, menata ulang, menegakkan aturan. Warga melakukan bagian yang tak kalah penting: menyambungkan yang jauh, merapatkan yang renggang.
Barangkali ada yang bertanya: apakah itu cukup? Apakah sapu di tangan pelajar dan ember di tangan pengemudi ojol mampu menandingi murka yang sempat membesar? Jawaban kota selalu unik. Jakarta dibangun bukan hanya oleh hutan beton, melainkan kebiasaan yang diulang-ulang: menahan diri, saling menolong, menertawakan nasib buruk agar tak menjadi dendam dan kebencian. Dari kebiasaan yang sederhana itulah, kota menanam penangkal: ketika provokasi datang, ia tidak menemukan ruang kosong di hati; yang ditemui adalah halaman yang ramai—orang-orang yang saling kenal, saling mengingatkan, saling menenangkan.
Sejarah Jakarta mengajarkan satu hal: kota ini bertahan karena warga memilih cinta yang bising ketimbang benci yang membakar. Cinta yang bising adalah tetangga yang menegur saat kita parkir sembarangan; pedagang warung yang meminjamkan ember; sopir bus yang berhenti sedikit lebih rapat agar penumpang bisa gampang masuk ke dalam. Cinta yang bising tidak selalu puitik, tapi efektif. Ia merawat infrastruktur dengan: kepercayaan.
Pada akhirnya, Jaga Jakarta bukanlah kata perintah, melainkan undangan. Undangan untuk duduk bersama, menghidangkan minum, dan menanyakan kabar; undangan untuk membersihkan halte tak ubahnya membersihkan beranda rumah sendiri; undangan untuk menjaga malam agar esok punya rencana. Tanpa menyalahkan siapa pun, kita memilih cara yang lebih tua dari kebencian: kerja pelan-pelan yang tak butuh selebrasi dan sorak-sorai.
Kota ini pernah menyaksikan musim gelap—dan ia juga akan menyaksikan musim yang benderang. Yang menentukan, seringkali, adalah hal-hal remeh: apakah kita menahan tangan saat emosi memuncak, apakah kita memilih sapu daripada batu, apakah kita berani menutup hari dengan kalimat yang utuh: “Jakarta, _kite_ yang _jagain_.”
Di ujung kalimat ini, kita akan selalu mengulang pelajaran: kota yang besar tidak meminta kita semua menjadi pahlawan; ia meminta kita menjadi tetangga yang hangat. Jaga Jakarta bukan slogan untuk poster dan spanduk, melainkan cara agar hanya pejalan kaki yang berlalu di atas trotoar, cara membuang amarah dan sampah pada tempatnya, cara bercermin pada sejarah agar kita tak mengulang kebodohan yang serupa. Menjaga kota berarti mencintainya. Dan kota, seperti manusia, hanya mungkin tumbuh dari cinta yang dirayakan, bukan api yang dikobarkan.
Komentar
Posting Komentar