Langsung ke konten utama

Saatnya Hukum Tegas! Menista Agama Bukan Sekadar ‘Kesalahan Kata’

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Pernyataan Suswono yang mengaitkan analogi Nabi Muhammad dan Siti Khadijah dalam konteks “janda kaya membantu pemuda” memicu kemarahan umat. Permintaan maaf yang disampaikan oleh Suswono tidak dapat dipandang sebagai penyelesaian, tetapi sebagai pengakuan bahwa ia memahami adanya kesalahan dalam pernyataan tersebut. Dalam pandangan hukum dan agama, hal ini tidak bisa diremehkan.

1. Pasal 156(a) KUHP: Penistaan Agama Adalah Pelanggaran Hukum

Dalam Pasal 156(a) KUHP, jelas disebutkan bahwa tindakan menistakan atau melecehkan agama adalah tindakan yang melawan hukum di Indonesia. Penggunaan narasi atau analogi yang merujuk pada tokoh suci dalam agama, terutama dalam cara yang menyinggung atau melemahkan kedudukan mereka, memenuhi unsur dari pasal ini.

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dihormati oleh umat Islam, dan beliau bukanlah bagian dari perumpamaan sehari-hari. Terlebih lagi, akidah bukan bahan yang bisa dipakai untuk menarik simpati publik atau membuat jenaka.

2. Kesucian Akidah: Bukan Bahan Analog yang Sembarangan

Agama Islam menekankan bahwa Nabi Muhammad SAW dan keluarganya adalah sosok yang mulia. Dalam hadits diriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda, “Barang siapa menghina para nabi, maka hukuman baginya adalah apa yang Allah kehendaki”. Dalam konteks agama, mempermainkan simbol atau nilai sakral adalah tindakan yang jauh dari sikap bertaqwa.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surah Al-Hujurat ayat 12: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Namun, ayat ini tak boleh menjadi tameng bagi mereka yang bersalah, apalagi menghalangi proses hukum terhadap penistaan.

3. Permintaan Maaf Bukan Pembenaran, tapi Pengakuan Salah

Tindakan Suswono yang meminta maaf harus dilihat sebagai pengakuan atas kekeliruannya. Permintaan maaf tidak menghapus dampak yang sudah ditimbulkan, terlebih dalam hal yang menyentuh simbol-simbol keagamaan. Maaf bukanlah alasan untuk mengabaikan langkah-langkah hukum, apalagi ketika akidah yang dipertaruhkan.

4. Menghadirkan Narasi yang Lurus: Jangan Permainkan Kepercayaan

Dalam konteks Pilkada atau kepentingan politik lainnya, tidak sepatutnya tokoh agama atau simbol akidah dipakai untuk menarik suara. Ada batas-batas etika dan keimanan yang harus dihormati. Jika seorang tokoh politik merasa bebas mengucapkan pernyataan yang ambigu atau menyinggung, apa yang diharapkan dari kualitas kepemimpinannya di masa depan? Agama dan kepercayaan adalah hal yang sakral dan bukan untuk dimainkan.

5. Penegakan Hukum: “Penjara” adalah Pilihan yang Tepat untuk yang Menista Agama

Dalam negara hukum, yang merasa berwibawa atau berkedudukan tinggi bukan berarti di atas hukum. Jika seseorang melanggar batas etika publik dan menyentuh ranah akidah umat, maka “penjara” adalah tempat yang tepat sebagai efek jera. Dalam hal ini, Suswono harus diingatkan bahwa posisinya sebagai figur publik mengharuskan dia berhati-hati dalam berbicara, terlebih menyangkut hal yang sangat sensitif. Jangan biarkan panggung politik menjadi arena untuk pembodohan umat.

6. Refleksi untuk Pemimpin dan Publik: Berhenti dari Perilaku yang Menghinakan

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang ia pimpin”. Pemimpin, terutama yang berlatar belakang Muslim, harus menjaga ucapannya agar tidak menyakiti keimanan umat. Perkataan seorang pemimpin mencerminkan integritasnya, dan Suswono sudah seharusnya berintrospeksi atas tindakannya yang dianggap merendahkan kepercayaan umat.

Kesimpulan: Tegakkan Keadilan dan Hormati Akidah

Umat berhak mendapatkan perlindungan dari setiap narasi yang berpotensi melecehkan nilai agama. Tidak ada tempat bagi penistaan dalam panggung politik, dan tidak ada ruang bagi akidah untuk dijadikan alat. Saatnya hukum ditegakkan dengan tegas agar kasus serupa tidak terulang. Bagi mereka yang berani mempermainkan nilai agama, penjara adalah konsekuensi yang tepat.

David Darmawan,
Ketua Umum Betawi Bangkit & Rais Laskar Suku Betawi
Jakarta 30 Oktober 2024
27 Rabiul akhir 1446 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENYONGSONG 24 TAHUN FBR: DARI TUDUHAN NORAK DAN PENUH ANCAMAN, MENUJU PILAR BUDAYA BETAWI

SUARKAUMBETAWI | JAKARTA,- Salam rempug, dua puluh empat tahun sudah Forum Betawi Rempug (FBR) hadir di tengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sebuah perjalanan panjang bagi sebuah organisasi massa yang lahir dari semangat kebudayaan, identitas, dan solidaritas msayarakat Betawi. Meski tak luput dari kritik, kontroversi, bahkan upaya pembubaran, FBR tetap bertahan—terus tumbuh dan meluas hingga ke luar wilayah Jakarta, menyatukan masyarakat Betawi lintas batas dalam barisan kerempugan. Di saat banyak ormas dituding meniru gaya militer atau menampilkan wajah represif, FBR memilih jalur berbeda: jalur budaya dan kedaerahan. Gaya khas lokal Betawi dengan keluguan, kelugasan dan kesederhanaannya, yang sempat dicibir “norak” pada awal kemunculannya, justru menjadi ciri khas yang membedakan FBR dari organisasi lain. Gaya ini pula yang menjadikannya dekat dengan rakyat, bukan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri, perjalanan FBR memang tidak selalu mulus. Ada masa ketika cit...

KH Lutfi Hakim Menyambut Baik Pembangunan Tugu Golok Cakung

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Golok Cakung berdasarkan SK Gubernur Nomor 91 Tahun 2022 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada masyarakat, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2024 berencana membangun Tugu Golok Cakung yang berlokasi di Jalan Raya Hamengkubuwono IX (dahulu Jalan Raya Bekasi) RT 002/02 Kelurahan Cakung Barat Kecamatan Cakung Jakarta Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil rapat pada hari Senin (19/8) di kantor Kecamatan Cakung yang dipimpin oleh Camat Cakung. Turut hadir dalam rapat itu, utusan dari Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Sudin Kebudayaan Kotamadya Jakarta Timur, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Ketua Forkabi Jakarta Timur, Ketua Gardu FBR setempat dan beberapa tokoh Betawi kampung Cakung selaku pemilik, pecinta dan simpatisan golok Cakung. Menurut Kyai Lutfi Hakim, pemilihan lokasi tugu tersebut tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah,...

Premanisme Jalanan Dibasmi, Premanisme Berdasi Dibiarkan?

SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab. Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sos...