SUARAKAUMBETAWI | JAKARTA, - Di usia senjanya, Eddy Marzuki Nalapraya memilih tetap bergerak. Bukan untuk kekuasaan, melainkan demi menjaga warisan tanah kelahirannya: Betawi. Bagi Eddy, usia tua bukan alasan untuk berhenti mencintai budaya. Hingga akhir hayatnya pada 13 Mei 2025, ia tetap aktif memperjuangkan jati diri Jakarta melalui pencak silat dan kerja sosial berbasis masyarakat.
Sebagai purnawirawan tentara dan mantan Asisten Teritorial di Kementerian Pertahanan, Eddy dikenal luas di kalangan militer. Namun, di balik semua gelar dan jabatan yang melekat, satu identitas yang paling ia banggakan: anak Betawi. Gelar “Bapak Pencak Silat Dunia” pun tak membuatnya berjarak dengan kampung halaman. Justru dari sanalah segalanya bermula.
Pada 2019, dalam sebuah acara di Balai Agung, Jakarta, Eddy berdiri di samping Gubernur Anies Baswedan. Tubuhnya telah renta, namun sorot matanya tetap menyala. Dengan suara berat, ia berkata, “Saya dulu hadir di situ, dan sampai hari ini saya masih mikirin Betawi, Gubernur.” Kalimat itu merujuk pada kenangannya di Lapangan Ikada—satu titik penting sejarah perlawanan rakyat Jakarta. Bagi Eddy, itu bukan nostalgia. Itu pernyataan sikap.
Jakarta pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an dilanda gelombang premanisme. Istilah “senggol bacok” mencuat, menggambarkan betapa keras dan liarnya kehidupan jalanan kala itu. Preman merajalela di pasar, terminal, hingga proyek-proyek negara. Kota terasa kehilangan kendali.
Namun Eddy tak tinggal diam. Ia membangun sistem keamanan berbasis warga dengan pencak silat sebagai pengikat sosial. Bukan kekerasan yang ia tanamkan, melainkan karakter. Ia menjadikan silat sebagai alat kontrol moral dan identitas: santun tapi kuat, tegas tapi bersahabat.
Langkah ini selaras dengan konsep yang kini dikenal sebagai tiga pilar Kamtibmas—kolaborasi antara masyarakat, tokoh lokal, dan aparat. Eddy percaya, orang Betawi tidak akan merusak kampungnya. Sebaliknya, merekalah penjaga pertama dari segala ancaman.
Ia juga menginisiasi jaringan interkom antarwarga, menciptakan respons cepat dalam menangani masalah keamanan di lingkungan. Tak berhenti di situ, Eddy aktif di organisasi radio amatir ORARI, serta mendirikan jaringan komunikasi warga yang kini menjangkau nasional. Semua dilakukan dengan pendekatan akar rumput.
“Makanya babeh udah se-tua ini, ngurusin anak kecil ilang di kali aja masih bisa. Lah itu berkat anak radio yang nemuin, nggak sampai sehari ketemu di Ciliwung, Bogor,” kisahnya, mengenang salah satu pengalaman yang membuatnya bangga pada komunitas yang ia bangun.
Salah satu momen paling emosional bagi Eddy adalah ketika pencak silat meraih 14 medali emas di Asian Games 2018. Ia tak menyangka cabang yang dulu hanya hidup di gelanggang kampung bisa mengharumkan nama bangsa di mata dunia. Pada saat itu, dirinya sudah tak muda, setelah merasakan jatuh bangun membesarkan pencak silat.
Selama lebih dari dua dekade memimpin Pengurus Besar IPSI, Eddy menjadikan silat sebagai diplomasi budaya. Ia membawa seni bela diri ini ke panggung dunia, sekaligus memastikan nilai-nilai lokal tetap terjaga. Bagi Eddy, silat bukan sekadar olahraga, melainkan pelestarian martabat.
Ia dikenal sebagai figur egaliter—nyaman duduk bersama jawara, ulama, pemuda, hingga pejabat tinggi. Wawasannya lintas suku dan agama, namun akarnya tetap tertanam kuat di tanah kelahiran.
Eddy Marzuki Nalapraya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bukan semata karena kiprah militernya, tetapi karena dedikasinya dalam menjaga identitas Jakarta. Ia telah tiada, namun semangatnya terus hidup dalam gerak para pendekar muda Betawi.
Seperti pencak silat yang ia ajarkan—tenang tapi waspada, lembut namun kuat—warisan Eddy bukan hanya tentang bela diri, tetapi tentang keberanian menjaga jati diri.
Komentar
Posting Komentar