SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, – Upaya aparat keamanan dalam menertibkan premanisme jalanan di berbagai sudut Jakarta mendapat apresiasi publik. Ketertiban memang bagian dari hak dasar warga negara. Pasar yang bersih dari pungli, terminal yang aman dari ancaman geng lokal, dan ruang publik yang bebas dari intimidasi adalah hal mendasar dalam kehidupan kota yang beradab.
Namun, ketika aparat dengan sigap menangkap pelaku pungli di pasar, menyisir kawasan rawan, dan menertibkan lapak-lapak liar, muncul satu pertanyaan tajam dari benak masyarakat: mengapa negara terlihat begitu tegas kepada preman kecil di jalanan, namun begitu pelan—bahkan gamang—dalam menghadapi premanisme berdasi yang merampok uang negara secara sistemik?
Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Di tengah publikasi besar-besaran mengenai razia preman jalanan, masyarakat justru melihat bayang-bayang lain yang tak kalah menyeramkan: korupsi berjamaah di balik proyek-proyek negara, kartel tambang, permainan anggaran sosial, hingga kongkalikong pemilu. Ironisnya, para pelakunya sering tampil rapi, berbicara tentang integritas, dan tampil di media sebagai penggerak pembangunan nasional.
Mari kita buka kembali sejumlah catatan kelam yang belum terselesaikan:
Skandal Pertamina, mulai dari dugaan korupsi dalam proyek kilang, pengadaan BBM, hingga isu oplosan Pertamax.
Kasus PT Timah, dengan kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah serta kerusakan lingkungan yang luar biasa.
Manipulasi ekspor emas di Antam, yang mengarah pada praktik oligopoli dan mafia sumber daya alam.
Defisit misterius BPJS Kesehatan, yang tidak sebanding dengan keterbukaan anggaran belanjanya.
Proyek Food Estate, yang disebut sebagai proyek strategis nasional, namun gagal dari sisi ekologi dan ekonomi.
Skandal Jiwasraya dan Asabri, kasus besar yang belum mampu mengembalikan hak para pensiunan.
Korupsi bansos, mark-up infrastruktur, dan politik anggaran di pilkada, yang menjadi pembuka jalan bagi tumbuhnya premanisme dalam politik.
Ironinya, di antara daftar panjang itu, yang diseret ke meja hijau seringkali hanya "ikan kecil", sementara "ikan besar"—mereka yang bercokol di kementerian, BUMN, hingga lingkaran oligarki—tampak tak tersentuh. Aparat tampak sigap di pasar, namun membisu di balik proyek tambang. Preman pasar diberangus, preman tambang dibiarkan.
Di tengah situasi ini, publik mulai mempertanyakan konsistensi negara dalam menegakkan hukum. Pemberantasan premanisme tanpa menyentuh akar sistemiknya hanyalah operasi kosmetik—teatrikal dan temporer. Premanisme jalanan memang menciptakan rasa takut, tetapi premanisme berdasi menciptakan kemiskinan struktural dan pembusukan negara dari dalam.
Lebih mengkhawatirkan lagi, semua ini terjadi ketika bangsa sedang bersiap menuju Indonesia Emas 2045. Di tengah jargon pertumbuhan ekonomi, bonus demografi, dan inovasi digital, bahaya laten korupsi justru menjelma menjadi ancaman terbesar masa depan republik. Apa artinya pembangunan bila hasilnya dinikmati segelintir elit? Apa gunanya reformasi jika mental kolonial masih bercokol di kursi-kursi birokrasi?
Korupsi adalah antitesis dari cita-cita Indonesia Emas. Ia menghancurkan kepercayaan publik, memperlebar ketimpangan sosial, dan menciptakan generasi muda yang sinis terhadap institusi. Bila dibiarkan, korupsi akan menjadikan demokrasi sebagai panggung ilusi dan hukum sebagai alat kekuasaan, bukan keadilan.
Pemberantasan premanisme tentu penting. Tapi harus tuntas. Harus menyasar dari terminal hingga direktorat, dari lapak liar hingga lobi kekuasaan. Karena preman gaya baru tak lagi membawa celurit, tapi membawa stempel anggaran dan tanda tangan proyek.
Sudah saatnya negara tidak hanya tegas kepada yang lemah, tapi juga berani kepada yang kuat. Jika tidak, rakyat akan terus mencatat. Dan sejarah akan mengutuk masa ketika premanisme diberantas di jalan, tapi dibiarkan hidup subur di ruang-ruang kekuasaan.
ini baru pemikiran yg cerdas dan tajam, negara kita selalu rakyat kecil yg menjadi korban premanisme berdasi.
BalasHapus