SUARAKAUMBETAWI | Jakarta, - Judul tulisan ini diambil dari tema Milad ke 24 (dua puluh empat) tahun Forum Betawi Rempug (FBR), sebuah organisasi massa berbasis kearifan lokal yang lahir dari rahim kebudayaan dan identitas Betawi. Tema ini menjadi penting, bukan saja sebatas cermin, tapi sikap kesungguhan dan tanggung jawab FBR sebagai ikhtiar untuk mewujudkan ketahanan budaya Bangsa di kota Jakarta dan sekitarnya.
Manakala membangun kesepahaman bersama dengan Pramono Anung- Rano Karno pada Pilkada Jakarta tahun 2024, FBR perlu kembali mendorong terealisasinya kesepahaman bersama dalam bentuk regulasi baik Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Daerah (Perda) baik Lembaga Adat Masyarakat Betawi dan Pemajuan Kebudayaan Betawi.
Terlepas dari kesepahaman yang dibangun, guna mewujudkan ketahanan budaya di Jakarta, dibutuhkan konsistensi perjuangan atas termaktubnya kedaulatan budaya Betawi dalam Pasal 31 UU DKJ yang lahir dari sebuah kesadaran identitas budaya yang jelas di kota Jakarta, yang sedianya akan menjadi kota global.
Merawat Budaya
Dalam kehidupan bangsa yang plural, budaya bukan sekadar warisan. Ia adalah identitas kolektif yang membentuk jati diri bangsa. Merawat budaya bukanlah tindakan eksklusif, apalagi bentuk perlawanan terhadap keberagaman. Justru dari kesadaran terhadap akar budayalah semangat kebangsaan tumbuh kuat dan berakar.
Namun ironisnya, semangat pelestarian budaya kini kerap dituding sebagai gejala fanatisme. Sikap mencintai budaya sendiri, mengenakan pakaian adat, menggunakan bahasa daerah dalam ruang publik, atau menyuarakan nilai-nilai kearifan lokal, tak jarang dipelintir menjadi bentuk pengkotak-kotakan identitas. Di titik ini, kita perlu berhati-hati agar tidak tergelincir ke dalam kecurigaan yang keliru.
Sementara itu, dalam konteks mencintai budaya bukanlah sikap ashobiyah, sebagaimana dalam khazanah Islam, yang berarti fanatisme sempit terhadap kelompok sendiri, disertai sikap merendahkan atau menolak kelompok lain. Sikap seperti ini memang berbahaya dan bertentangan dengan prinsip persaudaraan manusia dan kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW menolak ashobiyah karena ia merusak keadilan dan persatuan.
Namun, mencintai budaya sendiri tidak serta merta termasuk dalam kategori ini. Ia baru menjadi fanatisme jika digunakan untuk menolak, menyerang, atau mendiskreditkan kelompok lain. Selama semangat kebudayaan dijalankan dengan keterbukaan, penghormatan, dan kesediaan berdialog, maka pelestarian budaya adalah bagian dari memperkuat fondasi persatuan dan kesatuan Bangsa.
Membangun Harmonisasi Bangsa
Kita tidak bisa bicara Indonesia tanpa bicara kebhinekaan. Kita tidak bisa bicara kebhinekaan tanpa memberi ruang yang layak bagi budaya-budaya lokal untuk tumbuh, hidup, dan tampil dalam ruang publik. Uniformitas bukanlah ukuran nasionalisme. Justru keberagaman yang dirawat dengan cinta menjadi kekuatan yang membedakan Indonesia dari banyak bangsa lain.
Pancasila, sebagai dasar negara, tidak pernah menuntut rakyatnya melepas identitas budaya. Sila ke-3, Persatuan Indonesia, bukan ajakan untuk menyeragamkan, tetapi untuk merangkul yang berbeda dalam satu kesadaran kebangsaan. Di sinilah pentingnya pembedaan antara pelestarian budaya dan fanatisme sempit.
Budaya bukan tembok, tapi jendela. Ia memungkinkan kita melihat ke luar, tanpa kehilangan jati diri di dalam. Dalam budaya, terdapat nilai empati, gotong royong, kearifan hidup, dan kesantunan yang menjadi modal sosial bangsa. Merawat budaya adalah upaya memperpanjang napas sejarah agar tidak mati ditelan zaman.
Menuduh pelestari budaya sebagai fanatik, hanya karena ia memakai bahasa daerah atau memperjuangkan nilai-nilai lokal, adalah bentuk miskonsepsi terhadap semangat kebangsaan itu sendiri. Nasionalisme yang sehat bukan tentang seragam, tapi tentang kesediaan yang penuh kesadaran untuk hidup berdampingan dalam perbedaan.
Dalam ruang publik modern yang makin dipenuhi oleh narasi-narasi artifisial, mereka yang menjaga nilai-nilai budaya tradisional justru sedang mengingatkan kita bahwa Indonesia tidak tumbuh dari ruang kosong. Ia tumbuh dari akar-akar yang dalam — yang jika tidak dijaga, akan lapuk dan tercerabut.
Sebagai penutup, saatnya menyikapi perbedaan dengan akal sehat, bukan prasangka. Budaya harus kita rawat sebagai ruang dialog, bukan alat dominasi. Identitas lokal bukan ancaman, melainkan kekuatan. Sejauh dijalankan dengan hati terbuka, adalah bentuk paling murni dari cinta tanah air.
Selamat Milad ke-24 Tahun FBR, semoga makin meneguhkan eksistensinya sebagai wadah perjuangan, melindungi, merawat, memberdayakan dan memajukan budaya Betawi serta kaum Betawi dapat berdayasaing di dalam menghadapi tantangan zaman.***
Sebagai ormas yg berbasis budaya betawi namun tetap mengikuti perkembangan zaman, maka FBR survive ditengah gelombang perubahan ekonomi global.
BalasHapus